Ida Pandita Mpu Natha Jaya Kusuma

Setiap insan Hyang Widhi yang diberikan kesempatan untuk memperbaiki karma-karmanya, diberikan garis kehidupan sesuai karmanya juga. Sementara itu, sulinggih yang satu ini, juga diberikan perjalanan hidup yang berkelok-kelok bagaikan aliran sungai menuju samudera. Lebih-lebih hidup dalam keluarga besar dengan kondisi ekonomi yang boleh dikatakan serba kekurangan..

Candi Penataran di Desa Panataran, Nglegok, Blitar, Jatim, "Jejak Peninggalan Hindu Majapahit"

Candi Panataran adalah sebuah candi berlatar belakang Hindu (Siwaitis) yang mulai dibangun dari kerajaan Kediri dan dipergunakan sampai dengan kerajaan Majapahit. Candi Penataran terdiri atas beberapa gugusan, sehingga lebih tepat kalau disebut kompleks percandian yang melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Timur..

Keris Bali Bersejarah, "Ki Tunjung Tutur

Menurut kepercayaan masyarakat di Jawa, keris dapur marak dipercaya memiliki tuah untuk mendukung loyalitas dan kesetiaan terhadap pemimpin, menambah wibawa dan karisma pemiliknya. Keris ini cocok dan sesuai dipergunakan oleh para pegawai atau pamong praja. .

Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur, Baturiti, Tabanan, "Genah Metapa, Mohon Jabatan""

Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur merupakan kawasan tapa wana, dilestarikan sehingga tidak ada bangunan lain di lokasi ini kecuali terkait dengan pemujaan. Lokasi pura ini dulunya dikenal dengan tempat pertapaan Resi Segening. Seringkali orang datang memohon jabatan ataupun taksu sebagai pemimpin..

Parade Gong Kebyar Wanita Bius Penonton

Parade gong kebyar wanita antara duta Kabupaten Badung dan duta Kabupaten Tabanan pada (23/06) lalu di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 mendapat sambutan meriah, karena penampilannya menjadi primadona aktivitas seni tahunan ini. Duta Kabupaten Badung diwakili oleh Sekaa Gong Dharma Kanti Desa Adat Sobangan, Kabupaten Badung dan Kabupaten Badung diwakili oleh Sekaa Gong Desa Adat Tunjuk, Kabupaten Tabanan. Seperti apa meriahnya parade gong kebyar ini, berikut liputannya..

Minggu, 21 Agustus 2011

Dharmayatra Ashram Sari Taman Beji Ngubeng di Banyuwangi, Jatim, "Ashram Sari Taman Beji Diamankan Patwal Polres Pasuruan"

Rombongan berangkat 25 Juni 2011 pukul 07.00 Wita dengan peserta berjumlah 150 orang terbagi menjadi tiga bus, mula pertama berkumpul di Lapangan Kompyang Sudjana dua bus dan di Renon satu bus  serta ada juga yang naik dalam perjalanan mengingat peserta berasal dari seluruh Bali. Seperti biasanya sesampainya di Pura Rambut Siwi rombongan tak lupa menghaturkan sembah bhakti sebagai awal perjalanan untuk mendapatkan anugrah-Nya agar senantiasa mamargi antar labda karya sidaning don (berjalan lancar).

Reporter : Andiawan



Semua peserta tak terkecuali tiga orang sulinggih di antaranya Ida Pandita Mpu Sidyana Samyoga dari Griya Agung Cemagi, Ida Pandita Mpu Wiswarupa Bhiru Dhaksa dari Griya Agung Adika Sari dan Ida Pandita Mpu Wija Karma Niyasa Griya Puser Tegalwangi Jagapati dengan kusuknya menghaturkan sembah memohon anugrah keselamatan, kerahajengan dan kerahayuan selama melaksanakan dharmayatra.
Selanjutnya rombongan menuju Pelabuhan Gilimanuk dan menyebrang menuju Pelabuhan Ketapang dan tiba pukul 11.00 Wita. Setibanya di Pasuruan, tepatnya di pertigaan Grati menuju  Sendang Banyubiru, rombongan telah ditunggu oleh Unit Satlantas Patwal  Polres Pasuruan yang dikomandoi oleh  Iptu I Gde Suka Ana yang juga menjabat sebagai Ketua Parisadha Hindu Dharma Pasuruan. Kemudian rombongan dikawal bersama umat Hindu Pasuruan sampai ke tujuan (Sendang Banyubiru). Sementara, di Sendang Banyubiru, rombongan telah ditunggu sejumlah tetua desa serta Kadis Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak Agung Maryono bersama staf, serta petugas Mantri Hutan beserta jajarannya. Beberapa petugas (polisi) berpakaian preman pun tampak mondar-mandir menjaga keamanan.
Rombongan tiba sekitar pukul 17.00 Wita. Sejumlah awak media baik cetak maupun elektronik meminta konfirmasi atas kunjungan dimaksud. Terlihat  ketua rombongan Pinandita Pasek Swastika memberikan suatu pemaparan tentang maksud dan  tujuan pelaksanaan dharmayatra sekaligus prosesi Ruwatan Pabayuhan di tempat yang terlihat cukup angker itu.
Sejumlah pohon kayu besar yang tumbuh subur, tinggi dan berdaun rindang itu turut menambah keangkeran tempat itu. Sementara, pohon Beringin yang berada di tempat itu, diyakini oleh warga setempat ditunggu makhluk gaib berupa Gamang. Menurut Pinandita Pasek Swastika, pohon Beringin dimaksud adalah Wringin Sungsang, yang mana tepat di bawahnya terdapat kelebutan (sumber air) yang merupakan sumber amretha (kehidupan). Air mengalir menjadi anak sungai dan selanjutnya menyatu dengan sungai yang mengalir pada bagian hilirnya yang kemudian menjadi sumber pengairan beribu hektar sawah.
Setelah ngaturang Pakeling (matur piuning) pada masing-masing situs  di antaranya, di Hulu Sendang yang merupakan tempat disimpannya beragam Arca yang ditemukan di sekitar sendang tua itu seperti Ganesa, seorang pertapa, siwa, pandito, hewan,  dan lainnya, serta di Situs lainnya yakni pada Patung/Arca Kala dan di Situs Wringin Sungsang, sebatang pohon beringin yang tidak jelas terlihat ujung pangkalnya.
Di samping itu, rombongan tak lupa ngaturang pakeling di pohon randu hutan kembar yang diyakini sebagai tempat memohon penyatuan sebagai wujud cinta kasih. Atas arahan ketua rombongan, Ida Pandita Mpu Sidyana Samyoga melaksanakan pemujaan memohon Air Suci untuk Jejaton Rwatan Bebayuhan.
Begitu Ida Pandita Mpu nguncarang mantra-mantra suci dengan kusuknya, aura magis terasa sangat kuat, dan bahkan sejumlah peserta rombongan mengaku merasakan getaran aneh yang begitu kuatnya menghantam tubuhnya. Tak hanya itu, wringin sungsang (pohon Beringin-red), daunnya seketika terhempas ke sana ke mari bergelayutan diterpa angin seraya mengeluarkan suara riuh, menambah semakin kuatnya aura magis di tempat itu.
Setelah Air Suci Jaton Bebayuhan siap, prosesi Bebayuhan pun dimulai langsung oleh ketua rombongan kepada peserta yang menyertakan anak dan mantu dengan jalan membasuhkan air suci oleh si anak – mantu kepada orangtua dan mertua tepatnya di kaki. Selanjutnya orangtua-mertua membasuhkan air suci di bagian muka anak-mantu. Demikian juga bagi pasangan suami-istri, di mana, si istri membasuhkan air suci pada kaki suami dan si suami membasuhkan air suci ke muka istri.

Mabayuh Diwarnai Kegaiban

Setelah prosessi bebayuhan selesai masing-masing peserta tak terkecuali Ida Pandita Mpu menceburkan diri ke dalam kolam yang  ada  ikan ajaib dan berenang bersama-sama. Anehnya, ikan-ikan itu tak terlihat ketakutan, dan justru berbaur dengan peserta rombongan dan bahkan dengan lincah dan kegirangan meliak-liuk dengan riangnya. Sejumlah peserta rombongan bahkan tampak hingga menitikkan air mata atas anugrah yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
Setelah semuanya dianggap cukup, peserta kembali naik ke daratan untuk berganti pakaian lanjut melaksanakan muspa bersama dengan diawali pelaksanaan pembersihan areal sekaligus natab dengan biakala dan prayascita, pembagian benang tridatu dan karawista-kalpika yang telah dipasupati serta diakhiri muspa bersama dan pemberian tirta. Saat meditasi, salah seorang Jro Dasaran kerawuhan sambil memanggil-manggil Jan Banggul yang tiada lain tertuju kepada ketua Rombongan Pinandita Pasek Swastika serta berpesan kepada semua umat yang ada di Sendang Banyubiru, untuk senantiasa memelihara dan menjaga kesucian sumber Amretha itu.
Pun berpesan, untuk senantiasa meningkatkan srada bakti serta keyakinan terhadap Ida Hyang Widhi Wasa dan Leluhur Kawitan, sehingga akan terhindar dari berbagai bencana yang kerap kali terjadi di dunia ini demikian sebalinya.
Awalnya, ketua rombongan kurang yakin dan percaya akan kerawuhan itu, dengan teknik tersendiri, Pinandita Pasek Swastika tampak mencekal pergelangan tangan dan selanjutnya menjepit  tangan khususnya di antara ibu jari dan telunjuk Jro Dasaran. Ternyata Jro Dasaran tak merasakan sakit sedikit pun dan bahkan beliau terus ngoceh mengingatkan umat agar selalu Eling pada Jati Diri’ sebagai Umat Hindu. Selanjutnya, setelah Pinandita Pasek Swastika menepuk tanah tiga kali dengan menggunakan tangan kiri, Jro Dasaran pun terlihat lemas dan linglung.
Setelah hari menjelang malam, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Mojosari dengan melintasi jalan menuju Warung Dowo yang juga dikawal langsung oleh Kanit Lantas Pasuruan beserta jajarannya, hingga di Watu Kosek tepatnya di Desa Ngoro. Setelah  berjalan sejauh dua kilo meter, rombongan kembali disambut umat Sumber Tanggul Mojosari Mojokerto bersama Romo Katiran selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Mojokerto. Kurang lebih pukul 21.00 Wita, rombongan tiba di Pura Sasana Bina Yoga Sumber Tanggul yang diempon oleh 24 KK umat Hindu se-Mojosari Kabupaten Mojokerto. Setelah melakukan ramah tamah, acara dilanjutkan muspa bersama dan kemudian menggelar Dharma Wacana oleh Pinandita Pasek Swastika perihal Bhakti pada Ida Hyang Widhi Wasa dan Bhatara Kawitan. Tampak semua yang hadir begitu antusias mengikuti dan mendengarkannya.
Mereka (umat Hindu setempat-red) mengaku bahagia dan bangga menjadi umat Hindu walau dalam keadaan serba kekurangan serta merasa sangat senang dikunjungi umat Hindu dari sejumlah daerah di Bali. Hal itu disampaikan Ketua Parisada Hindu Dharma Mojokerto, Romo Katiran. Dalam kesempatan itu sebagai bukti kepedulian terhadap umat setempat, terlebih pura yang ada dalam proses pembangunan, Ketua Rombongan mengajak untuk medana puniakan rejeki sesuai dengan keikhlasan. Sekadar diketahui, pura yang semula hanya seluas dua are, dengan kerja keras dan tekad yang kuat, kini umat Hindu setempat berhasil membebaskan lahan di sebelahnya, hingga luas pura menjadi 20 are.
Persembahyangan diakhiri dengan menghaturkan punia  dari peserta berupa uang tunai  sebanyak satu juta seratus ribu serta  punia berupa lukisan Acintya dan Ganesa dari Ida Pandita Mpu Nabe Sidyana Samyoga dari Griya Agung Cemagi. Sebagian peserta menginap di di rumah penduduk dan sebagian lagi memilih………***  Bersambung 





Runtuhnya Kerajaan Bali Kuno


Tidak lama kemudian, murid-murid beliau Sang Mahayogi membangun beberapa palinggih utama yakni : Meru Tumpang Tiga (pajenengan mageng) diperuntukan sebagai sthana  Bhatara Sakti Sasuhunan di Gunung Raung. Dibangun juga Bale Kulkul (Pajenengan Kulkul) yang dibuat dari kayu “tangkai bunga seleguwi”.

Reporter & Foto : Putu Patra


Pajenengan Kulkul (kentongan) tersebut dibunyikan saat Ida Bhatara dimohon untuk turun dari kahyangan bila akan melaksanakan upacara melasti. Juga dibangun Bale Agung yang berhulu (mahulu) di selatan, mempunyai 11 ruangan dan bertiang 24. Bale Agung itu disebutkan dibawa dari Jawa (Gunung Raung), kemudian dibangun kembali yang di hulu/di bagian sebelah selatan linggih Ida Bhatara Sasuhunan sane malinggih di Bale Agung dan di bagian arah utara/tebenan berfungsi untuk tempat rapat (pasamuan) penduduk desa (karama desa) sejak dahulu. Dan tempat itu juga dipakai untuk membagi-bagi cacaran paolih-olih karama desa setelah selesai  menghaturkan upacara Dewa Yadnya.
Diceritakan sekarang, pada masa pemerintahan Sri Haji Kesari Warmadewa yang didukung oleh rakyat Singhamandawa dan para brahmana, rsi dan para bhiksu merencanakan membangun kembali pura-pura yang ada di wilayah kerajaannya, terutama yang sudah rusak disertai dengan upacara Dewa Yadnya  sepeti dahulu. Itulah yang menyebabkan subur makmur kerajaan sewilayah kerajaan Bali. Dan ada titah Baginda Raja kepada rakyat semua, agar seluruh orang yang berada di kerajaan Bali selalu ingat menghaturkan bhakti di pura-pura yang telah dibangun oleh leluhur dahulu. Kalau tidak ingat akan terkena bencana dan selalu bertengkar dengan kerabatnya. Entah berapa lama Baginda raja memerintah akhirnya beliau kembali ke Sorgaloka (meninggal dunia).
Lama kelamaan setelah silih berganti menduduki tahta kerajaan Bali Kuno, sekarang ada salah satu keturunan baginda raja terdahulu yang bertahta di Kerajaan Balidwipa. Beliau bergelar Sri Dharma Udayana Warmadewa. Beliau memerintah sekitar tahun 911 Saka (989 Masehi). Pada masa pemerintahan baginda raja konon sejahtera, subur dan makmurlah kerajaan, karena beliau didukung oleh rakyat yang sangat setia, dan beliau mengangkat  sejumlah senapati yang terhimpun dalam suatu lembaga pemerintahan yang disebut Pakira-kiran I jro makabehan. Bertambah-tambah kewibawaan beliau, karena Dharmapatni sangat paham terhadap berbagai pengetahuan  dan ilmu pemerintah. Pada saat itu baginda raja lagi menitahkan untuk melengkapi sejumlah pura yang telah dibangun oleh leluhurnya dahulu antara lain : Hyang  (pura)  Bukit Tunggal, Hyang (pura) Bangkiang Sidhi, dan Hyang (pura) yang ada di Padang (bangunan suci yang ada di Padangbai : Pura Silayukti). Kemudian beliau membangun lagi kahyangan-kahyangan di beberapa desa (banuwa/thani) seperti Hyang Api, Hyang Tanda dan Hyang Karimana, juga membangun pasraman para mpungku (mpu) yang mempunyai kewajiban memelihara suatu bangunan suci. Banyak lagi pura/parahyangan yang dibangun oleh keturunan beliau kemudian. Demikianlah yang tertulis dalam prasasti.
Tidak diceritakan setelah lama berganti-gantian tahta di kerajaan Balidwipa, kemudian ada salah seorang keturunan baginda raja yang mengendalikan kerajaan Balidwipa beliau bergelar Sri Gajah Wahana, Sri Tapolung atau disebut juga Sri Silahireng. Setelah dinobatkan menjadi raja beliau bergelar Sri Asyasura Ratna Bhumi Banten. Pada masa pemerintahan beliau, memang banyak bala tentara yang setia, juga didukung oleh para senapati, para rohaniwan dari agama Siwa/Hindu dan agama Budha, para Brahmana Agung dan para Rsi, yang “mengelilingi” singasana baginda raja, sesuai dengan  tugas kewajibannya masing-masing.  Tidak ada yang membelot dan bertentangan satu sama lainnya, semua pejabat saling menghormati, semua menjunjung kedudukan Sri Haji. Itulah yang menyebabkan sejahtera  kerajaan Bali sewilayahnya, sama-sama menginginkan kesempurnaan hidup. Pemerintahan Beliau diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1259 Saka (1337) Masehi). Entah sudah berapa lama beliau mencapai kejayaan dan kewibawaan dalam pemerintahan, kemudian beliau memilih untuk tidak lagi mempersembahkan upeti ke Wilwatikta(Kerajaan Majaphit) seperti yang dilakukan  oleh pendahulu beliau, apalagi setelah Wilwatikta diperintah oleh raja yang dianggap keturunan Ken Angrok.    


Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 17.  Terima kasih.

Ki Baju Rante


Keris Ki Baju Rante berdhapur keris pedang. Dhapur keris pedang cukup populer berkembang di Bali. Keris dengan bentuk semacam inilah yang diduga oleh para kalangan masyarakat perkerisan sebagai keris yang digunakan senjata perang.


Keris Tangguh Bali ini bernama lengkap Keris Komando Pajenengan Ki Baju Rante yang dibuat Mpu Pande Rudaya.

Bilah
Dhapur : Keris Pedang

Dari Kerajaan Karangasem, abad ke 18.  Keris ini dikerjakan pada masa Raja Karangasem bergelar Ida Angloerah Made Karangasem. Dikerjakan oleh Mpu Keris Kerajaan Karangasem Pande Rudaya dari Desa Jasi, Karangasem, di pelataran Puri Gede Karangasem.
Keris ini sangat bertuah, diberi nama Ki Baju Rante karena dapat menembus baju rante/baja (kre). Pada 8 Oktober 1989, keris Ki Baju Rante dikoleksi oleh AA. Gde Rai Suteja, selaku  putra raja Karangasem terakhir (AAA Angloerah Ketoet Karangasem, 1888 – 1966, bertahta 1908 – 1955). Dalam surat keterangan yang ditandatangani oleh AA Gde Djelantik, (putra tertua almarhum AAA. Angloerah Ketoet Karangsem,  tertanggal 8 Oktober 1989, yang bertindak selaku Ketua Keluarga Besar Puri Agung Karangasem, menerangkan, Keris Ki Baju Rante diberikan langsung secara pribadi oleh raja.

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 17.  Terima kasih.

Pandita Mpu Eka Dharma Santi & Pandita Mpu Istri Eka Dharma Santi Satya Semaya, "Tresna Sampai Lebar"


Tresna hingga lebar itulah yang dialami salah satu sulinggih mabhiseka Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi dari Griya Agung Pasek Tuwed, Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Jembrana. Pasalnya, Ida Pandita Mpu Istri Eka Dharma Santi yang lebar (meninggal) tanggal 20 Maret, kemudian disusul  Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi yang leba tanggal 7 April 2011.. Kejadian ini memang sangat jarang terjadi, dan mungkin baru pertama kali. Barangkali semasa hidupnya Ida Pandita Mpu pernah berjanji dan Tuhan mengabulkan permohonannya itu. Sudah dipastikan diaben bersama-sama. Seperti apa ceritanya, berikut hasil penuturan Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika, cucu dari salah satu keluarga kandungnya almarhum.

Reporter : Andiawan
Foto  :  Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika



Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi dari Griya Agung Pasek Tuwed yang saat walaka bernama Ketut Sutya dan lebih akrab dipanggil Pan Dame ini mengakhiri hidupnya atau telah dipanggil Sang Kuasa pada tanggal 7 April 2011 yang lalu. Almarhum Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi meninggalkan seorang anak angkat yang diperoleh dari anak salah satu saudara kandungnya. Kini telah dikaruniai cucu dua orang dan nantinya salah satu cucunya akan nyambung rah (melanjutkan). Demikian dituturkan salah satu cucunya dari salah satu saudara kandungnya, yakni Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika pemilik Ashram Sari Taman Beji, sekaligus sebagai salah satu pengurus di MGPSSR pusat bidang kesulinggihan.
Lebih lanjut dijelaskan, semasa hidupnya Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi bersama Ida Pandita Mpu Istri Eka Dharma Santi dikenal seorang yang pekerja keras dan pantang menyerah. Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi memulai karirnya sebagai Mantri Kehutanan tahun 1950, selanjutnya tahun 1965 dipercaya menjadi Kepala Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Jembrana, sambil membuka usaha sebagai Kleder (bidang pengiriman babi) antar pulau yakni dari Bali ke Jawa. Pemilik CV KMK ini dikenal sangat pintar melihat peluang bisnis. Kejujuran, ketekunan, kerja keras serta jiwa pantang menyerah dimiliki akhirnya mengantarkan (almarhum) Ida Pandita Mpu pernah mencapai sukses dan bahkan berjaya. Selain itu, Ida Pandita Mpu juga merupakan tokoh politik salah satu partai yang sangat disegani di Jembrana.
Selanjutnya, tahun 1970 Ida Pandita Mpu diangkat menjadi pemangku di Dadia, lanjut tahun 1973 Ida Pandita Mpu menapak Jro Gede hingga akhirnya tahun 1982 memutuskan melaksanakan upacara madwijati, sekaligus resmi menjadi sulinggih, hingga pada tanggal 7 April 2011 ini Ida Pandita Mpu lebar/dipanggil oleh Sang Maha Kuasa alias meninggal.
Selama beliau menjadi pemangku dan Jro Gede, kata Pinandita Pasek Swastika, terus berusaha mengisi diri melalui belajar melalui aguron-guron maupun melalui membaca dari berbagai sumber baik buku maupun lontar. Ida Pandita Mpu menjatuhkan pilihannya manabe kepada Ida Pandita Mpu Nabe Santika di Griya Pasek Kedampal, Abiansemal, Badung, yang juga beberapa hari telah dilaksanakan upacara palebon tepatnya Jumat tanggal  8 April 2011.  
Selama puluhan tahun menjadi sulinggih kata Pinandita Pasek Swastika, banyak yang berkeinginan untuk menjadi sisia, namun karena suatu alasan tertentu dan sangat dirahasiakan, Ida Pandita Mpu tak pernah mengabulkan, melainkan justru menyarankan untuk manabe kepada sulinggih yang lain.
“Kalau dibilang tidak mampu, menurut penilaian tiang, beliau memiliki kemampuan yang tak kalah dengan sulinggih lainnya, baik mengenai pemahaman ajaran agama, hingga kualitas jnananya. Sering tiang menanyakan alasannya, tetapi hingga beliau lebar tidak bersedia mengatakan. Barangkali beliau memiliki alasan yang orang lain tidak boleh tahu,” ujar Pinandita Pasek Swastika menegaskan.
Saat upacara Nyiramang Layon dilaksanakan disambut dengan hujan lebat. Selanjutnya upacara Palebon,  lanjut Pinandita Pasek Swastika, dilaksanakan tanggal 13 April 2011. Semoga Hyang memberikan Tempat Bersama-Nya. 


Parindikan Sulinggih
Nama Walaka                          : Ketut Sutya
Nama Akrab/Panggilan           : Pan Dame     
Bhiseka                                   : Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi
Lahir                                        : 1922
Nama Istri Walaka                  : Ni Wayan Tayu
Bhiseka                                   : Ida Pandita Mpu Istri Eka Dharma Santi
Lahir                                        : 1930
Anak                                       : Anak Angkat (salah satu anak saudara kandungnya)
Cucu                                        : Dua putra
Nama Griya                             : Griya Agung Pasek Tuwed,
Alamat                                    : Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Jembrana
Didhiksa                                  : Tahun 1982
Nabe                                        : Ida Pandita Mpu Nabe Santika
Griya                                       : Griya Pasek Kedampal, Abiansemal, Badung
Jabatan                                    : Mantri Kehutanan tahun 1950, Kepala Desa Tahun 1965, Kleder (usaha pengiriman babi Bali-Jawa), Pemangku Dadia tahun 1970, Jero Gede tahun 1973, hingga Madhiksa tahun 1982 dan lebar tanggal 7 April 2011. 

Wangsit Gajah Para kepada Cucunya Ngurah Kaler


Adapun pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya “ Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di pucak Gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari),  dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh serta tari-tarian, karena ibuku dulu bidadari”.


Kembali diceritakan, waktu I Gusti Ngurah Pulaki, memohon berubah wujud menyatu dalam alam tidak tampak mengikuti Bhatara di Mlanting, I Gusti Ngurah Pegametan, sedang tidak ada di rumah, beliau pergi mengunjungi Bendesa Kelab, yang berada di Jembrana. Beberapa hari berada di sana, kembali pulang dia ke Pulaki, bersama semua pengiringnya, tidak diceritakan dalam perjalanan, segera sampai di perbatasan desa, kaget perasaannya I Gusti Ngurah Pegatepan, karena tidak seperti sedia kala, bingung perasaan I Gusti Ngurah Pegatepan………………..,
“Wahai saudaraku, apa sebab tidak tampak olehku penduduk desa itu, tidak seperti sedia kala tempat tinggal desaku saat ini”.
Kemudian terdengarlah suara-suara binatang bercampur dengan suara harimau, mengaum ribut tiada tara, terkejut perasaan  I Gusti Ngurah Pegatepan, tidak kepalang tanggung hati I Gusti Ngurah Pegatepan, ingin mengadu keberaniannya, beliau marah dan mengumpat-umpat, ujarnya “ Wahai engkau harimau semua, tampakkanlah wujudmu, hadapi keberanianku sekarang”.
Segera I Gusti Ngurah Pegatepan melangkah, tidak kelihatan yang bersuara gemuruh itu, kemudian beliau berjalan hendak meninjau Toya Anyar. Berjalan beliau bersama prajurit, sampai tiba di Rajatama, perjalanannya diikuti oleh wujud yang maya itu, sekilas tampak berupa harimau, semua pengikut itu perasaannya menjadi takut, semakin mendekat harimau itu, perilakunya seperti orang menghormat, menunduk pada I Gusti Ngurah Pegatepan, kemudian mengumpat serta menghunus keris. Jadi hilang rupa bayangan itu, segeralah beliau melanjutkan perjalanan. Tidak diceritakan desa yang telah dilewati, orang-orang yang mengiringnya. Diceritakan sekarang telah sampai di Desa Wana Wangi, banyak pangiring itu berlarian teringat para pengiring yang hilang sebanyak lima puluh orang, karena jurangnya menyulitkan, berbahaya, dan terjal diliputi oleh gelap, tidak terlihat keberadaan di dalam hutan.
Tidak terpikir oleh I Gusti Ngurah Pegatepan, tidak menghiraukan lembah terjal perjalanan beliau, segera tiba di Sambirenteng. Menuju ke timur perjalanan beliau, sampailah beliau di hutan sekitar  Sukangeneb Toya Anyar. Beristirahatlah beliau di sana, dihitung prajuritnya, dulu diiring oleh  dua ratus prajurit, telah hilang tersesat lima puluh orang, sekarang pengiringnya tinggal seratus lima puluh orang, itu sebabnya (tempat itu), bernama Desa Karobelahan sampai sekarang.
Adapun lima puluh orang pengikut yang tersesat, dikumpulkan bertempat di Bengkala. Adapun beliau I Gusti Ngurah Pegatepan, beserta pengikut menuju keluarganya di Sukangeneb Toya Anyar. Tidak diceritakan untuk sementara.
Cerita kembali lagi, sekarang diceritakan beliau Arya Gajah Para, setelah lama beliau berada di Sukangeneb Toya Anyar. Karena masa tuanya, pada saatnya akan dijemput oleh Kala Mrtyu (Kematian), sudah tampak tanda-tanda kematiannya. Sudah diyakini oleh beliau, tidak boleh tidak beliau pasti akan meninggal.
Adapun pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya “ Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di pucak Gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari),  dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh serta tari-tarian, karena ibuku dulu bidadari”.  Demikian pesan beliau Arya Gajah Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaleran, cucu beliau mematuhi, tidak berani menolak pesan kakeknya.
Tidak diceritakan lagi telah tiba saatnya maka wafatlah beliau Arya Gajah Para. Adapun cucu beliau yang bernama I Gusti Ngurah Tianyar, tidak mengetahui wasiat tersebut, karena (pada saat itu) beliau tidak berada di rumah, beliau pergi ke Gelgel, menghadap kepada Sri MahaRaja, bersama-sama dengan I Gusti Ngurah Pegametan, sama-sama berada di Gelgel.
Tidak diceritakan lagi, setibanya kembali I Gusti Ngurah Tianyar, beserta saudaranya, dijumpai orang-orang di pun, semua menyongsong I Gusti Ngurah Tianyar, memberitahukan tentang wafatnya Arya Gajah Para. Kaget dan terhenyak hati yang baru tiba, berpikir-pikir tentang wafatnya, segera datang I Gusti Ngurah Kaleran, diberitahukan ada pesan beliau (Arya Gajah Para), bahwa disuruh untuk membuatkan panggung  jasad beliau di Puncak Gunung Mangun. Demikian perkataan beliau I Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya. Diam I Gusti Ngurah Tianyar, berpikir-pikir beliau. Tidak disetujui semua ucapan yang disampaikan I Gusti Ngurah Kaler, bersikeras pula I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh semua rakyat untuk membantu bersama-sama mengerjakan bade (tempat usungan mayat) bertumpang sembilan, pancaksahe, taman agung cakranti tatrawangen, beserta segala upakara ngaben seperti lazimnya orang-orang berwibawa bernama Anyawa Wedhana, harapan beliau agar segera  jasad leluhur dikremasi. Karena hari baik sudah dekat, itu sebabnya masyarakat itu beserta tamu semua segera membantu bekerja baik laki maupun perempuan, membuat upakara ngaben (Pitra Yadnya).

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 17.  Terima kasih.

Hal Pemanes Karang


Segala yang disebut Pamanes Pekarangan, seperti: Kemasukan gelap, dan terbakar, patut membangun palinggih berupa Padma rendah, sthana Sang Hyang Indra Blaka. Apabila tidak membangun sthana untuk Sang Hyang Indra Blaka, tidak putus-putusnya menemukan sakit bermacam-macam, walaupun hingga sepuluh kali telah macaru, tak akan bisa selesai oleh caru itu, karena Beliau Sang Hyang Indra telah berubah menjadi Sang Hyang Indra Blaka, menjadi Kala Maya, menjadi Kala Desti, demikian dinyatakan.

Caru Ngamatiang Semer
Pangelemnya:
Daksina 1, mwah nasi wong-wongan ireng iwaknya kakul, Perasnya matumpeng ireng, iwaknya pencok kacang, ay am ireng pinanggang, mwangjijih makaput antuk tapis, kawangen 7, dadi pangelem, maduluran nasi salah warna limang warna, iwaknya saka wenang, alednya klakat sudamala.
Maksudnya :
Caru mematikan/menimbun sumur: Banten untuk upacara menimbunnya terdiri dari: sebuah Daksina dan nasi wong-wongan hitam ulam kakul/sipvit, Banten Perasnya memakai tumpeng hitam ulamnya pencok kacang, seekor ayam berbulu hitam dipanggang dan/ytfi/biji padi dibungkus dengan tapis, 1 buahkawangen, dijadikan saranapenimbunan yang akan ditanampada
sumur, ditambahi nasi sasah salah warna 5 warna, ulamnya apa saja boleh, alasnya memakai klakat sudamala.
Mantram :
Om Nini Pamali Wates, Kaki Pamali Wates, tan hana jurang pangkung, Aku Ibu Pretiwi, anglebur sakalwiring hala. Om Sudha sih, Kala sih, Dewa Teka purna Om Sa Ba Ta A1, Sang, Patang.

Karang Panes
"Sakalwiring pamanes pakarangan, Iwirnya : Kapanjingan gelap, mwang puwun, wenang ngadegang palinggih Padma andap, palinggih Sang Hyang Indra Blaka. Yan tan adegang palinggih Sang Hyang Indra Blaka, tan pegat amanggih lara rogha, wiyadin ping dasa carunin, tan sidha purna saking caru ika, apan Sang Hyang Indra dadi Sang Hyang Indra Blaka, dadi Kala Maya, dadi Kala Desti, mangkana kojarannya.
Maksudnya:
Segala yang disebut Pamanes Pekarangan, seperti: Kemasukan gelap, dan terbakar, patut membangun palinggih berupa Padma rendah, sthana Sang Hyang Indra Blaka. Apabila tidak membangun sthana untuk Sang Hyang Indra Blaka, tidak putus-putusnya menemukan sakitbermacam-macam, walaupun hingga sepuluh kali telah macaru, tak akan bisa selesai oleh caru itu, karena Beliau Sang Hyang Indra telah berubah menjadi Sang Hyang Indra Blaka, menjadi Kala Maya, menjadi Kala Desti, demikian dinyatakan.
"Muwahyan hana karang tumbak rurung, tumbakjalan, tumbak tukad, manamping marga, pempatan, namping Pura, namping Bale Banjar, makadinya ngulonin Bale Banjar, panes karang ika".
Maksudnya:
Dan apabila ada pekarangan berpapasan dengan gang atau jalan kecil, jalan, berpapasan dengan sungai, bersebelahan dengan jalan, perempatan jalan, bersebelahan dengan Pura, bersebelahan dengan Bale Banjar, seperti di hulu Bale Banjar, panas pekarangan itu.
"Muwahyan hana bumi sayongan, katiban kuwug-kuwug, panes burnt ika. Yaning pakarangannya metu kukus, panes karang ika. Maksudnya:
Dan apabila ada sayongan pada pekarangan disertai dengan suara gemuruh dari langit ciri panas bumi itu. Apabila pada pekarangan muncul kukus, ciri panas pekarangan itu.
Yan hana sanggah pungkat, mwang jineng, pawon pungkat, tan pakarana, mwang katiben amuk, kalebon amuk, panca bhaya, ngaran, panes karang ika.
Muwah pungkatne tan pakarana, tan wit ginawe pungkat, kewala pungkat, ya tan wenang ingangge lakarnya, wenang pantesin lakare sami."
Maksudnya:
Apabila ada Sanggah roboh, danjineng/tempai menyimpan padi, dapur roboh tanpa penyebab, dan kedatangan orang berkelahi, terlaksana sebagai tempat perkelahian, Panca Bhaya, disebutkan panas pekarangan itu.

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 16.  Terima kasih.

Ngutpeti-Stiti Sang Hyang Brahma


Pikiran lurus bersih dan cara hidup sederhana membuat seseorang merasa hidup bahagia. Hidup dengan akal yang banyak dan pikiran yang menjelimet cenderung membuat seseorang merasa tidak bahagia. Demikian juga hidup di jalan spiritual. Teknik Samadhi yang rumit akan sulit mencapi  tujuan tertinggi. Justru teknik yang sederhana mengantarkan seseorang mencapai tujuan tertinggi dengan cepat.

Seorang penganut Tantra yang tekun akan mengalami peningkatan spiritual secara bertahap. Setelah latihan beberapa lama dia akan naik  dari spiritual biasa ke tingkat spiritual sidhi. Kemudian meningkat lagi ke tingkat spiritual suci dan akhirnya sampai pada tingkat spiritual mulia.
Sidhi artinya sesuatu yang diinginkan atau yang dikehendaki akan berhasil. Kata sidhi kurang popular di Bali. Di pulau seribu pura ini, pengertian  tersebut lebih dikenal dengan sebutan sakti.
Untuk meningkatkan spiritual biasa menjadi spiritual sakti relatif gampang. Orang yang berlatih Tantra, yang biasa melakukan samadhi, cenderung untuk bisa mencapai kesaktian walaupun tidak menguasai teknik Samadhi dengan benar. Asal rutin Samadhi di rumah atau rajin tangkil dan meditasi di tempat-tempat suci atau tenget, maka kesaktian akan gampang diperoleh.
Yang sulit adalah mendaki dari spiritual sakti ke spiritual suci. Orang bilang, sulitnya seperti memasukkan gajah ke lubang jarum. Kalau seseorang mulai belajar Samadhi dengan pengetahuan  dasar yang cukup dan benar, disertai pengendalian diri yang ketat dia akan lancar mendaki dari spiritual sakti ke spiritual suci. Tapi kalau dia mulai belajar  Samadhi dengan jurus mabuk, asal duduk diam sambil memejamkan mata, maka setelah mencapai spiritual sakti dia akan kesulitan naik ke spiritual suci. Walaupun belajar berpuluh-tahun, dia akan tetap berada pada tingkat kesaktian. Kalau diibaratkan seperti orang berjalan, dia merasa seperti sudah berjalan jauh sekali. Tapi sebenarnya dia berjalan berputar-putar di tempat yang sama, dan tidak pernah meninggalkan daerah itu.
Aturan pertama dalam Samadhi adalah tidak boleh mengingat dan memikirkan apapun. Tidak boleh memikirkan hal-hal yang baik. Juga dilarang mengingat hal-hal yang buruk. Jadi lakukan Samadhi dengan pikiran diam, tenang dan damai. Penulis berkali-kali menekankan hal ini karena aturan ini merupakan kunci pertama untuk membuka pintu keberhasilan.
Aturan kedua adalah : ”Jangan melakukan olah prana”. Jangan melakukan rekayasa dengan cara membayangkan ada api, sinar atau hal-hal lain dalam tubuh. Jangan membayangkan atau sengaja merasakan seolah-olah ada energi dalam tubuh dan bergerak menurut pola-pola tertentu. Kalau Anda membayangkan hal-hal seperti itu, semuanya adalah rekayasa Anda sendiri. Semua itu adalah keinginan Anda pribadi (walaupun Anda mendapat teknik itu dari buku atau seorang guru). Keinginan berarti rajas. Dengan mengikuti keinginan Anda dalam Samadhi berarti Anda menumbuh-kembangkan sifat rajas, egois dan mau menang sendiri. Jauh menyimpang dari tujuan hakiki ajaran Samadhi yaitu mengembangkan sifat-sifat suci, mulia dan bijaksana.
Pengembangan rajas akan membuahkan kesaktian, tapi sulit untuk mencapai kesucian. Karena jalan ke arah kesucian adalah jalan satwam. Anda akan seumur-umur tetap berada pada tingkat kesaktian tanpa menemukan jalan ke arah kesucian.
Kenapa demikian?
Karena  Anda memulai Samadhi dengan ambisi, keinginan dan harapan. Juga karena Anda melakukan olah bathin sesuai dengan keinginan Anda. Sesuai dengan apa yang Anda anggap paling baik. Dengan demikian Anda terlalu sombong. Anda melupakan Sang Hyang Widhi. Sebenarnya hanya Ia yang tahu apa yang terbaik bagi Anda.
Hanya sedikit orang sakti yang bisa meningkatkan ke arah kesucian. Di antara seribu orang sakti belum tentu satu yang berhasil menjadi orang suci. Hanya  orang sakti yang selalu berjalan di jalan kebenaran, yang rendah hati, yang ucapannya lemah lembut, yang sabar dan bijaksana, yang memakai kesaktiannya untuk menolong  lain dan untuk kebaikan orang banyak, hanya dialah yang bisa mencapai kesucian. Kesaktian adalah api. Nyala api terasa panas dan arahnya selalu ke atas. Karena itulah orang sakti hatinya cepat panas, selalu merasa paling hebat, cepat tersinggung dan sifat-sifat sejenis itu. Itu semua bukanlah sifat asli dirinya. Tapi sifat ilmu kesaktian yang dimilikinya. Karena itulah orang sakti sulit masuk ke arah jalan kesucian, jalan yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang memiliki sifat rendah hati, sabar, penuh kasih sayang dan bijaksana.
Aturan ketiga adalah : Pada saat Samadhi pasrahkan diri pada Sang Hyang Widhi. Biarlah Ia yang merekonstruksikan spiritual Anda. Biarlah Ia yang mengatur prana dalam diri Anda. Mau dijadikan apa tubuh rohani Anda, serahkanlah kepada-Nya. Dengan demikian Ia akan mentransformasi spiritual Anda ke arah yang baik dan benar. Dengan cara ini Anda telah memilih jalan yang benar untuk bisa mencapai Yang Maha Mutlak. *** bersambung  

Ida Pedanda Gede Ngurah Kaleran, "Malinggih Berkat Wangsit Niskala"


Sejak masih usia muda, Ida Pedanda Gede Ngurah Kaleran memiliki hobi sekaligus kebiasaan tangkil ke sejumlah pura, baik di Bali maupun di luar Bali. Kebiasaan itu dilakoni dengan penuh ketulusan. Rupanya tanpa disadari, kebiasaan itu sudah merupakan tuntunan sekaligus sebuah proses mengantarkan Ida Pedanda menapak kesulinggihan. Manusia hanya bisa sebatas berusaha dan berdoa, Tuhan-lah yang akhirnya menentukan semua hasilnya. Bagaimana lika-liku kehidupan Peranda selama walaka hingga madiksa? Berikut liputannya.


Reporter & Foto : Andiawan



Ida Pedanda Gede Ngurah Kaleran yang saat walaka maparab Ida Bagus Nuratmaja ini adalah sosok Pedanda bersahaja yang senantiasa berusaha semaksimal mungkin menjalani hidup di atas rel kebenaran. Ida Pedanda sadar, bahwa tujuan manusia terlahir ke dunia ini adalah untuk memperbaiki karma kurang baik masa lalu dan sekaligus menabung karma baik sebanyak-banyaknya, sehingga diharapkan pada kelahiran yang akan datang bisa lebih baik dari keadaan sekarang.
Untuk itu, manusia dituntut untuk senantiasa berbuat baik. Berpedoman dan mengaplikasikan konsep Tri Kaya Parisuda dan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari, guna mencapai sebuah keseimbangan lahir dan bhatin.
Lebih lanjut Ida Pedanda yang dikenal ramah ini menjelaskan, bahwasannya tak pernah terbesit di benaknya akan menjadi seperti sekarang ini.  Frofesinya diawali menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa (guru-red) dan pertama bertugas di sebuah sekolah di Jembrana. Selama menjadi guru, karirnya menanjak hingga dipercaya menjadi Kepala Sekolah. Setelah beberapa tahun bertugas di Jembrana, Ida Pedanda pindah tugas di Denpasar.
Ida Pedanda Ngurah Kaleran yang dikenal seorang ‘Kutu buku ini’, kemudian sambil mengajar waktunya dimanfaatkan untuk menempa diri melanjutkan pendidikan di bangku kuliah.  Ida Pedanda menjatuhkan pilihannya di Fakutas Sastra jurusan bahasa Inggris. Namun sayang karena sesuatu dan lain hal, akhirnya Ida Pedanda tidak bisa mewujudkan keinginan/cita-citanya kuliah  hingga tamat.
Mengingat saat itu penghasilan sebagai guru tidak menjanjikan, Ida Pedanda memutuskan membanting setir beralih profesi dan terjun ke dunia pariwisata. Kebetulan kala itu ada pembangunan hotel baru yakni  Grand Bali Beach Hotel di Sanur.
Tak mau ketinggalan dan membuang kesempatan baik itu, Ida Pedanda pun langsung melayangkan lamaran dan akhirnya diterima. Bermodal kejujuran, kerja keras dan tentunya loyalitas yang tinggi, mengantarkan karir Ida Pedanda mengalami peningkatan cukup pesat. Selama bekerja, Ida Pedanda pernah menduduki jabatan penting di antaranya, sebagai Asisten Manager Art and Culture, Asisten to Manager Marketing, serta Asisten Manager Publik Relition.
Hampir setiap hari-hari suci Ida Pedanda tak pernah absent tangkil ke pura. Berangkat sore pulang pagi dan itu dilakoni bertahun-tahun. Itu dilakukan bukan untuk mencari kesaktian, tetapi murni untuk memohon keselamatan dan ketenangan serta kedamaian lahir dan bhatin.
Tak disadari pula, entah dari mana mendapat informasi, banyak umat datang ke Griya untuk nunas tamba, serta keperluan lainnya. Merasa tak memiliki kemampuan di bidang itu, Ida Pedanda  kerap menolak, tetapi mereka tetap bersikukuh minta dibantu. Merasa kasihan, akhirnya Ida Pedanda membantu dengan doa dan air putih. Anehnya mereka sembuh, sejak itulah semakin banyak umat yang datang memohn dibantu, sampai-sampai waktu kerja kerap terganggu.
Proses membantu umat biasanya dilakukan cukup menggunakan air yang telah dimohonkan energi kepada Ida Bhatara sebagai manifestasinya Tuhan. “Terus terang, sebenarnya tiang tidak memiliki keahlian di bidang itu dan menolak untuk menjalankan tugas itu. Namun, karena tiang tidak kuasa menolak titah/perintah beliau, terpaksa tiang lakukan. Karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” tegas Ida Pedanda yang dikenal murah senyum dan pantang menyerah ini.  
Karena sesuatu pertimbangan, akhirnya Ida Pedanda kelahiran tahun 1936 ini, memutuskan mengundurkan diri, dan kemudian mendirikan usaha biro perjalanan (Travel). Sejak itu, sambil mengurus usaha, Ida Pedanda menggunakan hari dan waktunya untuk kegiatan rutin membantu umat dan tangkil ke sejumlah pura baik di Bali, luar Bali hingga ke sejumlah tempat suci yang ada di beberapa wilayah di India.

Saatnya Deposito Karma

Seperti sebelumnya, berangkat sore atau tengah malam, kemudian pagi harinya mapamit dan melaksanakan tugas rutin mengurus usaha, dan nyanggra penangkilan umat dengan tujuan yang berbeda. Guna meningkatkan kemampuan dalam bidang spiritual dan pengetahuan tentang ajaran agama, Ida Pedanda tak pernah menyerah untuk terus belajar, dan belajar. Serta yang paling penting berusaha mengimplementasikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tak hanya sebatas tahu, dan atau bahkan hanya sekadar mampu mewacanakan.
Karena dorongan titah niskala dan kuatnya dukungan umat untuk segera Madwijati/malinggih menjadi seorang sulinggih (pendeta), akhirnya pada tanggal 28 November 1996  Ida Pedanda melaksanakan upacara Padwijatian dan sejak itu resmi secara sekala-niskala menjadi sulinggih. “Di saat sudah malinggih, tiang berusaha mengabdikan sisa hidup ini untuk membantu umat serta membuat deposito karma baik, sebagai bekal dinikmati pada kehidupan yang akan datang,” tegas Ida Pedanda menjelaskan, seraya mengakhiri perbincangannya karena kebetulan beberapa orang penangkilan datang. ***


Parindikan Sulinggih
Nama walaka : Ida Bagus Nuratmaja
Bhiseka                       : Ida Pedanda Gede Ngurah Kaleran
Lahir                            : Tahun 1936
Profesi Walaka            : Guru dan Karyawan Hotel
Nama istri Walaka       : Ni Jero Arsaja
Bhiseka                       : Jero Istri Arsa Kaleran
Anak                           : Lima Putra dan Dua Putri
Pengalaman Kerja       :  Guru & Asisten Manager Hotel
Nama Griya                 : Griya Kaleran, Sanur
Alamat Griya : Jalan Hang Tuah No. 3, Denpasar Selatan
Didiksha                      : Tanggal 28 November Tahun 1996
Nabe                            :Ida Pedanda Nabe Gede Oka Timbul
Griya                           : Griya Timbul, Puseh Intaran, Denpasar Selatan

Ki Gagak Petak (2)


Gagak Petak juga merujuk pada nama masukan khusus/elit yang tidak terkalahkan yang diberi nama pasukan Laskar Taruna Goak. Pasukan elit Goak/gagak adalah pasukan khusus yang dibentuk pada masa Anglurah Pandji Sakti ketika melakukan invasi (1639 M), terhadap Kerajaan Blambangan sehingga kekuasaan Buleleng terbentang luas hingga ke Blambangan.


Pamor wusing wutah lembat dipercaya memiliki tuah untuk mempermudah datangnya rejeki. Pamor ini bukan tergolong pamor  pemilih sehingga dapat dimiliki oleh siapapun.

Hulu
Bentuk : Grantim

Pada awalnya hulu/danganan keris ini berupa danganan togogan dari gading dan dihias dengan selut dan wewer khas Bali dari bahan emas dan dihias batu mulia. Namun karena kondisinya yang sudah berumur maka oleh Pande  Wayan Suteja Neka, keris tersebut dimuliakan dengan danganan grantim dari bahan emas.
Hulu/danganan grantim pada zaman dahulu hanya dikenakan oleh para raja dan bangsawan. Hulu grantim tergolong hulu yang mewah karena dibuat dari anyaman/lilitan benang logam mulia yang amat rumit dan halus. Sebagian besar danganan ini berbahan emas dan sedikit jumlahnya, maka harganya amat mahal dan saat ini grantim kuno juga mulai jarang dijumpai.
Danganan ini dilengkapi selut/wewer khas Bali yang dibuat dari emas yang dikombinasi dengan batu mulia (batu mirah).

Waragka
Bentuk : Kojongan 

Warangka Kojongan pada zaman dahulu hanya dikenakan oleh kalangan muda namun sekarang ini popoler dipakai oleh segala kalangan.
Warangka kojongan Keris Ki Gagak Petak dibuat dari kayu bentawas dan dihias dengan plisir/antup kayu pellet dengan motif mbatok baris jajar. Kondisi warangka tersebut kini mulai rapuh dan untuk mempertahankan keasliannya, Pande Wayan Suteja Neka memuliakan warangka tersebut, membungkusnya dengan pendok dari emas dan perak, dengan tujuan memperindah dan memperkuat warangka-nya. Untuk mempertahankan  keindahan pellet  pada plisir/antup warangka tersebut maka pendok yang diterapkan berupa pendok krawang tengah khas Bali.
Warangka dibuat dari bahan emas dan perak dengan komposisi silih asih yaitu komposisi warna kuning dan putih dari bahan emas dan perak. Komposisi tersebut dikombinasi   dengan batu mulia sehingga semakin menambah keindahannya. Pahatan silih asih merupakan simbolisasi ketentraman, ketenangan dan kehormonisan kepemimpinan (raja) dan kekeluargaan (rumah tangga). Pendok dihias dengan pahatan motif sekar-sekaran sebagai symbol keselarasan dan keharmonisan. Dalam proses pembetukan motifnya menerapkan teknik pahat wudulan sehingga tampak timbul pahatan reliefnya. Pengertian pendok dipercayakan kepada Made Pada, seorang ahli pembuat pendok yang mumpuni dari Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Gianyar.

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 14.  Terima kasih.

Teknik Ajapa Gayatri


Menurut ajaran Samadhi Ajapa Gayatri, genitri atau japa mala yang dipakai pada saat Samadhi hanya berfungsi  sebagai alat bantu menghitung agar mantra yang diucapkan tepat sebanyak bilangan alam semesta yaitu 108 kali. Jadi,  peganglah genitri secara wajar.  Tidak perlu disembunyikan di balik lipatan baju atau kain agar tidak terlihat orang lain.



Dalam Ajapa Gayatri yang diproses adalah tubuh spiritual pelaku Samadhi. Bukan genitri yang dipakai. Tujuannya agar terjadi transpormasi kesadaran. Dari kesadaran manusia menjadi kesadaran dewa. Dari spiritual profan menjadi spiritual suci. Kalaupun genitri yang dipakai selama Samadhi berubah menjadi benda keramat, syukuri saja. Tapi selalu ingat, itu bukan tujuan. Bukan itu yang utama. Itu hanyalah sekadar dampak positif dari Samadhi yang dilakukan selama bertahun-tahun.
Kita kembali kepada teori Ajapa Gayatri. Setelah mahir melakukan pernafasan perut dengan ketentuan menarik nafas dua ketukan (detik) dan mengeluarkan nafas delapan ketukan (detik), lalu dilanjutkan dengan latihan mengucapkan mantra.
Mantra yang dipakai untuk japa adalah mantra Gayatri. Caranya sebagai berikut :
* Pada saat menarik nafas, tidak mengucapkan mantra.
* Pada saat mengeluarkan nafas ucapkan sebagian dari mantra Gayatri, yaitu baris pertama dan baris kedua saja.
Om, …… bhur ……. Bhuah, ……. Swah
Tatsa, ….. witur ….. ware ….. niyam.

Setiap kata diucapkan selama satu ketukan (detik).
Om, ----- diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Bhur …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)    
Bhuah …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Swah …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Tatsa  …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Witur  …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Ware  …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Niyam  …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)

  • Selanjutnya tarik nafas melalui hidung selama dua ketukan (detik). perut menjadi kembung (maju ke depan).
  • Kemudian mengucapkan sisa mantra gayatri yaitu baris ketiga dan keempat mantra diucapkan sambil mengeluarkan nafas melalui hidung.

Bargo  …. Dewa …. …sya di …. Mahi,
Dhiyo, ….. yo nah……. Praco …. Dayat.

Bargo …diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Dewa …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Sya di …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Mahi …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Dhiyo …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Yonah …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Praco …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)
Dayat …… diucapkan selama 1 ketukan (detik)

Jadi baris ketiga dan keempat diucapkan selama 8 ketukan (detik). Sampai di sini nafas di dalam perut sudah keluar semua dan perut menjadi kempes.

-          Kemudian tarik nafas lagi selama 2 ketukan (detik) dan perut terasa penuh berisi nafas.
-          Keluarkan nafas pelan-pelan selama 8 ketukan (detik) sambil mengucapkan mantra gayatri bait pertama dan kedua. Sampai di sini nafas di perut terasa habis dan perut menjadi kempes.
-          Kemudian tarik nafas lagi selama 2 ketukan (detik) sampai perut terasa penuh oleh nafas.
-          Selanjutnya keluarkan nafas pelan-pelan selama 8 detik sambil mengucapkan mantra gayatri bait ketiga dan keempat. Sampai di sini nafas di perut terasa habis dan perut menjadi kempes.
-          Lakukan seperti di atas berulang-ulang sampai jumlah mantra gayatri lengkap diucapkan sebanyak 108 kali.

Perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
-          Menarik nafas  dilakukan melalui hidung dengan agak cepat agar dalam waktu 2 ketukan (detik) perut sudah terasa penuh oleh nafas.
-          Nafas dikeluarkan pelan-pelan melalui hidung. Biarlah nafas keluar secara perlahan-lahan, lembut, seperti air mengalir, seperti hembusan angin sepoi : menyejukkan, membuat perasaan menjadi damai.
-          Waktu mengeluarkan nafas, jangan dilakukan penekanan. Ini tidak akan mendatangkan kesucian.
-          Nafas dikeluarkan pelan-pelan sambil mengucapkan mantra. Suara mantra tidak perlu keras, cukup terdengar oleh telinga sendiri. Suara mantra agar pelan dan lembut sesuai dengan nafas yang pelan dan mengalir. Irama mantra dibuat datar. Jangan dinyanyikan atau dilagukan dengan suara naik-turun seperti umumnya orang melantunkan mantra gayatri. Irama indah dengan nada naik turun menghubungkan kesadaran pelaku Samadhi dengan Saguna Brahman,  Tuhan Yang Memiliki Sifat. Sedangkan mantra gayatri yang diucapkan dengan nada datar penuh kedalaman akan membawa kesadaran pelaku Samadhi sampai pada Nirguna Brahman. Tuhan Tanpa Sifat. Paramasiwa Tattwa. 

Pura Padharman Sukangeneb Sirearya Gajah Para, Tejakula, Buleleng, "Swamba sebagai Dasar Palinggih Gedong"

Meski dengan kondisi ekonomi pas-pasan, pretisentana yang awalnya berjumlah 5 dadia ini pantang menyerah, dengan modal tekad, kemurnian, ketulusan, dan semangat serta keyakinan yang tinggi berusaha sekuat tenaga dan dengan kemampuan yang ada mewujudkan Pura Pedarman ini yang kini memiliki pangempon tetap berjumlah 13 dadia tersebar di seluruh Bali.

Rporter & Foto : Andiawan



Begitu menginjakkan kaki di Jeroan Pura, tampak sejumlah palinggih dan bangunan pendukung lain tertata rapi. Di Jeroan Pura, pamedek dapat melihat sejumlah palinggih hasil karya tangan-tangan terampil dan berjiwa seni tinggi, ditambah sarana yang digunakan, hasil dari penggabungan batu merah alami dengan batu sungai dengan ukuran yang telah disesuaikan, sehingga mampu menghasilkan karya seni bernilai tinggi serta terlihat indah, sakral, dan menjadi daya tarik tersendiri.
Sementara, di salah satu pojok tampak ruang kosong yang belum tertata, akibat minimnya dana yang dimiliki. Sehingga, pembangunan atau penataan Pura Pedarman dengan luas kurang lebih 15 are ini, tidak bisa dilakukan sekaligus, melainkan bertahap.
Panglisir Pura, I Wayan Lasem mengaku akan berusaha menata pura ini, sehingga kelihatan semakin rapi dan anggun dipandang, serta pamedek betah berada di pura. Pun, kata pria ramah ini, para pretisentana beliau dapat lebih khusuk ngaturang sembah bakti ke hadapan beliau.
Sementara, Jro Mangku Gede Parwata berusaha menjelaskan keberadaan palinggih di Pedarman ini. Dimulai dari Utama Mandala, terdiri dari: Meru Tumpang Sia (Sembilan), Pajenengan, Palinggih Tri Sakti (Kamulan), Palinggih Panca Rsi, Palinggih Anta Boga, Palinggih Ratu Hyang Lurah Sakti, Gedong Catu, Lima Sari,  Palinggih Sakeluang, Pasimpangan Pura Pulaki, Taksu, Bale Pelik/Bale Pasamuan, Bale Pawedan, Pohon Bunga Kembang Sepatu penuh misteri.
Sedangkan di Madya Mandala terdiri dari : Bale kulkul, Bale Pasandekan, Bale Gong dan  dua Palinggih Pengapit Lawang. Di Nista Mandala terdiri dari dua Palinggih Pangapit Lawang, Palinggih Pangayatan Ratu Gede Dasar, dan sebuah bangunan berupa Pewaregan/dapur.
Lebih jauh Wayan Lasem menjelaskan, tentang alasan kenapa pura ini berada di Banjar Dinas Ngis, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula. Karena, pada zaman dahulu Desa Tembok adalah bagian dari wilayah Toya Anyar. Bahkan, konon kekuasaan beliau sampai di wilayah Pura Ponjok Batu, Buleleng, sekarang ini.
Setelah dilakukan penataan tata ruang wilayah oleh pemerintah, akhirnya Desa Tembok masuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dengan demikian, secara otomatis Pura Pedarman ini berada di wilayah Kabupaten Buleleng, dan terpisah dengan Toya Anyar yang kemudian lama kelamaan berubah nama menjadi Tianyar hingga saat ini.
Meski demikian, keberadaan pura tidak mungkin dipindahkan, mengingat sesuai dengan babad yang ada, bahwa bukti sejarah riil/nyata yang menguatkan keyakinan akan kebenaran keberadaan Pura Pedarman ini adalah diapit dua tukad (sungai-red) yakni Tukad Gelar dan Tukad Luwah.
“Apabila lokasi pura ini dipindah, sudah tentu tidak sesuai dengan babad yang ada serta tidak ada bukti sejarah yang menguatkan keberadaan pura ini. Karenanya, pura ini tetap berada di wilayah Kabupaten Buleleng,” jelas Nyoman Lasem menegaskan.  
Lebih jauh suami Ni Luh Catra ini berusaha menceritakan sejarah singkat awal berdirinya Pura Padarman ini. Diceritakan,  Sirearya Gajah Para datang ke Bali pada tahun 1270 menuju Toya Anyar menjalankan titah (diperintah) sekaligus tugas dari Maha Patih Gajah Mada, langsung menghadap raja Dalem Klungkung yang diikuti tiga orang Wisia, di antaranya Tan Kaur, Tan Mundur, dan Tan Kobar.
Oleh raja Dalem Klungkung Arya Gajah Para diberi tugas untuk menaklukkan Bali Aga dengan batas wilayah kerja, di sebelah utara adalah Desa Got, di timur Desa Basang Alas/Garbawana, di barat Ponjok Sela beristana di Toya Anyar dan beliau dikaruniai empat orang putra yakni I Gusti Ayu Raras, I Gusti Ngurah Sukangeneb, I Gusti Ngurah Toya Anyar/Abhiseka Sirearya Gajah Para II, serta I Gusti Ayu Tirta.
Kemudian, lanjut Pria kelahiran tahun 1934 ini, Sirearya Gajah Para II berputra tiga orang di antaranya; I Gusti Ngurah Toya Anyar/Abhiseka Sirearya Gajah Para III, I Gusti Nengah Kaler, dan I Gusti Ayu Toya Anyar, karabi (dipersunting-red) oleh Pedanda Sakti Manuaba.

Darah Memerah di Tukad Luwah

Berselang beberapa tahun kemudian, Sirearya Gajah Para pun wafat. Namun, sebelum wafat beliau berpesan kepada cucunya yang bernama I Gusti Ngurah Kaler. Isi pesan itu adalah “Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti aku  meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di pucak Gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari),  dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh serta tari-tarian, karena ibuku dulu adalah seorang bidadari”.  Demikian pesan beliau Arya Gajah Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaleran.

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 12.  Terima kasih.

Ki Segara Jagadhita


Keris dhapur Sinom dipercaya sebagai keris pusaka yang memberikan tuah/symbol/filosofis kehidupan yang tenang, tentram, bahagia dan menyenangkan. Keris ini tergolong bilah keris yang bukan pemilih atau dapat dimiliki oleh golongan tua maupun muda.


Keris ini adalah pusaka dari Puri Gede Buleleng, yang dibuat oleh Ida Pedanda Ngurah Sakti Lalandep dari Desa Banjar, Buleleng.

Bilah
Dhapur Sinom Robyog

Sinom dalam Jawa berarti “pucuk daun asam Jawa” (Tamarindus): sinom juga dapat berarti “rambut halus yang tumbuh di dahi”, sinom juga dapat berarti pula “jenis tembang Bali/Jawa dalam kelompok sekar macapat”.

Keris sinom memiliki kelengkapan rarincikan: sekar kacang/cunguh gajah, lambe gajah/cedar, jalen/tapi, sogokan, srawean, ada-ada/kalor,  ri pandan/kekujung, pijetan/tigasan. Apabila rarincikan tersebut ditambahkan jenggot/bimakroda/janggar pada sekar kacang dan greneng bersusun maka dhapur keris sinom tersebut menjadi dhapur Sinom Robyog.
Keris dhapur Sinom dipercaya sebagai keris pusaka yang memberikan tuah/symbol/filosofis kehidupan yang tenang, tentram, bahagia dan menyenangkan. Keris ini tergolong bilah keris yang bukan pemilih atau dapat dimiliki oleh golongan tua maupun muda. Menurut mitos yang beredar, keris sinom pertama kali dibuat oleh Mpu Windudibyo pada tahun 1119 Saka (1197 M), pada masa Nata Prabu Lembuamiluhur.
  

Pamor : Rekan motif Sisik Penyu.

Pamor sisik penyu merupakan pamor yang tergolong pamor rekan. Secara teknik pamor ini dibuat dalam jumlah lipatan yang tidak terlalu banyak, kemudian pada lapisan saton dilakukan teknik puntiran satu arah untuk menghasilkan pola pamor sisik penyu. Untuk menghasilkan pola pamor sisik penyu yang agal/jarang dilakukan puntiran yang polanya agak jarang, serta saton pamor dalam jumlah lipatan yang sedikit. Pamor ini dipercaya memiliki tuah untuk keselamatan, panjang umur, dan untuk kesinambungan kepemimpinan yang baik.


Hulu
Bentuk Dewa Ganesa

Dalam masyarakat Bali dan masyarakat Nusantara pada umumnya Dewa Ganesa adalah symbol dewa kecerdasan. Bentuk Dewa Ganesa ini dibuat dengan pahatan yang sangat rumit namun rapi, tegas dan tampak hidup. Hulu atau danganan ini dibuat dari gading gajah. Warna danganan yang coklat, merah kekuningan selain disebabkan usia, juga menunjukan bahwa gading gajah tersebut diasapi. Hulu dilengkapi mendak atau wewer gaya Bali dari bahan emas dan batu mulia.
  

Warangka
Bentuk : kekandikan.

Warangka bentuk kandik atau kekandikan juga popular disebut dengan istilah sesumpingan karena bentuknya yang menyerupai makan sumping (nagasari) yang dibungkus dengan daun pisang. Konon warangka ini hanya diperuntukan bagi seorang raja dan para bangsawan  kerajaan. Namun kini popular dikenakan oleh hampir seluruh kalangan masyarakat Bali dan Lombok. 
Warangka dibuat dari bahan gading gajah. Dilengkapi dengan pendok  bunton  khas Bali berbahan emas dan dihias dengan pahatan motif sulur-suluran. Pada bagian tengah dihias plisiran/antup dengan bahan perak, dihias motif bersulur. Melihat material, teknik dan warnanya, hulu, warangka dan pendok dibuat sezaman dengan pembuatan bilah kerisnya.  ***          

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More