Ida Pandita Mpu Natha Jaya Kusuma

Setiap insan Hyang Widhi yang diberikan kesempatan untuk memperbaiki karma-karmanya, diberikan garis kehidupan sesuai karmanya juga. Sementara itu, sulinggih yang satu ini, juga diberikan perjalanan hidup yang berkelok-kelok bagaikan aliran sungai menuju samudera. Lebih-lebih hidup dalam keluarga besar dengan kondisi ekonomi yang boleh dikatakan serba kekurangan..

Candi Penataran di Desa Panataran, Nglegok, Blitar, Jatim, "Jejak Peninggalan Hindu Majapahit"

Candi Panataran adalah sebuah candi berlatar belakang Hindu (Siwaitis) yang mulai dibangun dari kerajaan Kediri dan dipergunakan sampai dengan kerajaan Majapahit. Candi Penataran terdiri atas beberapa gugusan, sehingga lebih tepat kalau disebut kompleks percandian yang melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Timur..

Keris Bali Bersejarah, "Ki Tunjung Tutur

Menurut kepercayaan masyarakat di Jawa, keris dapur marak dipercaya memiliki tuah untuk mendukung loyalitas dan kesetiaan terhadap pemimpin, menambah wibawa dan karisma pemiliknya. Keris ini cocok dan sesuai dipergunakan oleh para pegawai atau pamong praja. .

Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur, Baturiti, Tabanan, "Genah Metapa, Mohon Jabatan""

Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur merupakan kawasan tapa wana, dilestarikan sehingga tidak ada bangunan lain di lokasi ini kecuali terkait dengan pemujaan. Lokasi pura ini dulunya dikenal dengan tempat pertapaan Resi Segening. Seringkali orang datang memohon jabatan ataupun taksu sebagai pemimpin..

Parade Gong Kebyar Wanita Bius Penonton

Parade gong kebyar wanita antara duta Kabupaten Badung dan duta Kabupaten Tabanan pada (23/06) lalu di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 mendapat sambutan meriah, karena penampilannya menjadi primadona aktivitas seni tahunan ini. Duta Kabupaten Badung diwakili oleh Sekaa Gong Dharma Kanti Desa Adat Sobangan, Kabupaten Badung dan Kabupaten Badung diwakili oleh Sekaa Gong Desa Adat Tunjuk, Kabupaten Tabanan. Seperti apa meriahnya parade gong kebyar ini, berikut liputannya..

Jumat, 02 September 2011

I Dewa Ayu Mas Suarthini, "Ubah Perilaku Masyarakat"


I Dewa Ayu Mas Suarthini adalah sosok   Kepala Bidang Penyuluhan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Karangasem yang senantiasa berpenampilan sederhana dengan tutur katanya yang santun. Di samping itu, ibu dari satu putri dan dua putra ini dikenal pekerja keras dan tak mengenal waktu serta pantang putus asa dalam mengemban dan melaksanakan tugas-tugas kesehariannya.
Royalitasnya yang tinggi membuat wanita kelahiran tahun 1956 ini dipercaya mengemban tugas sebagai Kepala Bidang Penyuluhan sejak beberapa tahun yang lalu. Berbagai tantangan kerap dihadapi saat menjalankan tugas di lapangan, terutama di dalam merubah pola pikir dan perilaku masyarakat untuk senantiasa hidup bersih, yang dimulai dari rumah tanggan hingga ke lingkungannya.

I Dewa Ayu Mas Suarthini

Di dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan tugas-tugasnya, istri Drs. I Dewa Putu Raka ini mengaku lebih menyasar ibu-ibu rumah tangga melalui PKK, mengingat ibu rumah tangga yang paling berperan dalam hal kebersihan. Sehingga, jika para ibu-ibu rumah tangga ini sudah sadar dan memahami akan pentingnya hidup bersih, niscaya program pemerintah akan dapat berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan.
Kabid yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Tim Penggerak PKK ini lebih jauh menjelaskan, berbagai upaya dan usaha dilakukan untuk menyadarkan serta merubah perilaku  masyarakat, salah satunya melalui lomba kebersihan, serta membentuk desa binaan. Dengan adanya kegiatan semacam ini, diharapkan masyarakat akan terbiasa memilih dan memilah antara sampah organik dan an-organik.
Meski upaya itu disadari tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan dibutuhkan kesabaran, komitmen, dan kerja keras, serta waktu yang cukup panjang, tetapi wanita ramah dan murah senyum ini mengaku tak pernah putus asa menghadapi perilaku masyarkat yang cukup sulit untuk merubah perilaku serta kebiasaan membuang sampah sembarangan. “Tiang optimis lambat laun masyarakat akan sadar dan memahami akan pentingnya hidup bersih, sepanjang kita bersama komitmen untuk  bahu-membahu bekerja keras tanpa putus asa. Membuat sesuatu yang baik tentu perlu waktu dan pengorbanan, baik tenaga, waktu, dan materi,” jelas   I Dewa Ayu Mas Suarthini menegaskan seraya mengakhiri perbincangannya.
*** Andiawan

Luh Suryaniti, S.Sos. M."Si Pelayanan Konseling Gratis"


Isue gender masih menjadi isue global yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan, Kabupaten Badung, Luh Suryaniti, S.Sos. M.Si, Selasa (09/08) lalu. Namun demikian, melalui Kantor Pemberdayaan Perempuan serta didukung oleh kebijakan pemerintah, Suryaniti berupaya memperkecil kesenjangan gender dengan menciptakan kondisi yang adil dan demokratis bagi perempuan serta meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan perempuan.
Salah satu upaya yang telah terlaksana, membentuk Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Badung. “Lembaga ini sebagai wadah pemberdayaan perempuan dan anak dalam pemenuhan informasi, konsultasi dan pendampingan penyelesaian masalah-masalah perempuan dan anak. Pencegahan KDRT merupakan hal terpenting dalam program pendampingan,” ungkapnya.


Bagi masyarakat Badung yang ingin berkonsultasi tidak hanya wanita atau anak-anak tetapi juga laki-laki akan diterima di kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Badung. Hal ini sebagai upaya menekan
Permasalahan-permasalahan yang muncul di keluarga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta peningkatan perlindungan perempuan. Menurut Suryaniti, anak sebagai korban kekerasan tidak hanya ketika orangtua melakukan kekerasan fisik padanya. Namun, ketika anak-anak melihat orangtua melakukan kekerasan, maka anaknya sudah menjadi korban kekerasan.
Berbagai program nyata telah dilaksanakan selama kurang lebih 3 tahun masa jabatannya. Terbukti dalam kurun waktu tersebut, IPG sebelum tahun 2008 mencapai 69, kini meningkat mencapai 71,38. Suryaniti akan terus berupaya meningkatkan pemberdayaan perempuan. Dari segi ekonomi, perempuan juga disentuh sehingga tidak hanya laki-laki yang menjadi sumber penghasilan keluarga. Salah satu contoh program yang sudah berjalan, ada di Desa Mekar Buana yaitu program prima (Perempuan Indonesia Maju Mandiri). Pemerintah memberikan modal untuk usaha. Terwujudlah Koperasi Dewi Kunti yang hanya dikelola oleh kaum perempuan. Ini merupakan beberapa wujud nyata dalam pengarusutamaan gender Kabupaten Badung. 
***  sadnyari

Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur, Baturiti, Tabanan, "Genah Metapa, Mohon Jabatan"

Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur merupakan kawasan tapa wana, dilestarikan sehingga tidak ada bangunan lain di lokasi ini kecuali terkait dengan pemujaan. Lokasi pura ini dulunya dikenal dengan tempat pertapaan Resi Segening. Seringkali orang datang memohon jabatan ataupun taksu sebagai pemimpin.

Reporter & Foto : Ida Ayu Made Sadnyari

Seorang spiritual yang betul-betul mendambakan suasana sunyi dan damai, Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur bisa menjadi salah satu tempat pilihan untuk melaksanakan tapa yoga semedhi.
Keunikan dari pura ini adalah keberadaan Juuk Linglang (sejenis jeruk). Jeruk ini konon sudah tumbuh ratusan tahun dan diyakini memiliki khasiat tertentu yang ajaib, jarang sekali orang yang bisa mendapatkan buahnya.


Jika memerlukan bantuan Jro Mangku, bisa dihubungi, rumahnya tidak jauh dari kawasan pura. Sudah ada petunjuk jalannya atau bisa tanya langsung ke penduduk setempat. Bagi umat yang belum pernah nangkil  ke pura ini, perlu berhati-hati dengan barang bawaan. Tetap awasi dan jangan ditinggalkan begitu saja karena di hutan ini masih banyak kera yang sering iseng mengambil barang bawaan pengunjung. Jika tidak hendak makemit, sebaiknya datang pada pagi hari sebab dikhawatirkan akan turun kabut yang menggangu.
Bukit Pucak Sangkur sangat tepat dibangun Pura Resi sebagai pertapaan orang suci sebagai bhagawanta-nya negara. Karena dalam areal yang hening ini para Brahmana dengan sisya kerohaniannya dapat melakukan tapa brata-nya. Melakukan tapa brata merupakan swadharma utama dari para resi. Dengan tapa brata itulah seorang resi akan mendapatkan inspirasi suci menyangkut kehidupan umat manusia di bumi ini.
 Lewat keheningan dalam tapa brata di areal Tapa Wana itulah berbagai tuntunan hidup kepada para Ksatria, Waisya maupun Sudra. Agar inspirasi suci terus dapat mengalir melahirkan berbagai kebijakan untuk mengatur kehidupan di dunia ini, hendaknya hutan yang tergolong Tapa Wana ini jangan sampai dialihfungsikan untuk kepentingan lain. Karena lewat suasana hening di Tapa Wana akan dilahirkan pemikiran-pemikiran yang arif bijaksana untuk menuntun kehidupan bersama di bumi ini.


Moksahnya Ida Rsi Sagening

Pura Pucak Bukit Sangkur ini ada kaitannya dengan berbagai Pura Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Tantu Pagelaran diceritakan secara mitologis  Gunung Maha Meru di India, puncaknya menjulang sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit sampai tersentuh oleh puncak Gunung Maha Meru itu maka alam ini pun akan hancur lebur. Saat itu Jawa dan Bali dalam keadaan guncang atau disebut enggang enggung.
Hyang Pasupati memotong puncak Maha Meru tersebut terus dibawa ke Jawa. Pecahan puncak tersebut ditaburkan dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Pecahan Maha Meru itulah yang menjadi gunung-gunung yang berderet dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Di Jawa Timur puncak Maha Meru itulah menjadi Gunung Semeru. Setelah itu Pulau Jawa menjadi tenang. Tetapi Bali masih enggang-enggung atau guncang. Karena itu, Hyang Pasupati terbang ke Bali membawa puncak Gunung Maha Meru tersebut.
Puncaknya sekali menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan dasarnya menjadi Gunung Rinjani di Lombok. Serpihan-serpihannya menjadi gunung-gunung kecil dan bukit-bukit yang mengelilingi Pulau Bali. Setelah itu Bali menjadi tenang. Gunung-gunung kecil itu antara lain menjadi puncak Mangu, Teratai Bang, Gunung Tampud, Lempuhyang, termasuk Bukit Pucak Sangkur tempat didirikannya Pura Pucak Resi itu.
Dalam Lontar Purana Pura Pucak Resi diceritakan di zaman dahulu ada seorang suci bernama Ida Sang Resi Madura berasal dari Gunung Raung, Jawa Timur. Beliau Sang Resi juga disebut sebagai Acarya Kering. Ida Sang Resi Madura ini sering mengadakan perjalanan bolak-balik Jawa-Bali. Suatu hari dalam Yoga Semadinya Sang Resi mendapatkan suara niskala yang menugaskan Sang Resi agar menuju Danau Beratan. Sang Resi pun mengikuti suara gaib tersebut. Sang Resi diiringi oleh pembantunya bernama I Patiga. Sampai di Bali, Sang Resi menuju puncak bukit.
Di puncak bukit itulah Ida Sang Resi Madura membangun pura dengan nama Parhyangan Pucak Resi sebagai pemujaan Batara Hyang Siwa Pasupati. Setelah itu Sang Resi Madura ini mengadakan perjalanan menuju ke puncak Teratai Bang, Bukit Watusesa sampai ke Bukit Asah.
Diceritakan I Ratu Ayu Mas Maketel di Nusa Penida saat mengadakan upacara Ngeraja Sewala mendatangkan seorang pandita dari Maja Langu untuk memimpin upacara tersebut. Pandita ini bernama Ida Resi Sagening ke daratan Bali dan bermukim di Munduk Guling Klungkung. Di tempat ini beliau banyak punya pengikut. Sang Resi kena fitnah dan dikatakan akan merebut kekuasaan raja di Linggarsapura. Sang Resi pun mau dihukum mati.
Untuk menghindari hukuman itu, Ida Resi Sagening pindah ke Bukit Asah diiringi oleh sisya-sisya (murid-murid-red)-nya. Di Bukit Asah inilah beliau membangun pasraman. Atas petunjuk niskala yang diterima oleh Ida Ratu Ngurah Wayan Sakti agar Pura Puncak Asah di-pralina. Karena demikian halnya Ida Resi Sagening mohon dibuatkan Siwapakarana dan disimpan di Pasraman Taman Sari. Di pura inilah juga Ida Resi Sagening mencapai moksha.
Upacara Pujawali di Pura Luhur Pucak Sangkur ini pada hari Budha Kliwon Sinta yaitu Rerainan Pagerwesi. Pada hari raya ini dipuja Batara Siwa sebagai Sang Hyang Paramesti Guru yaitu memuja Tuhan sebagai Maha Guru alam semesta. Jadinya sesuai dengan yang di Pura Pucak Sangkur yaitu Tuhan sebagai Hyang Siwa Pasupati.
Di sini ada bentang persekutuan gugusan kelompok Gunung Sanghyang-Gunung Lesong-Gunung Pucuk serta gugusan kelompok Gunung Adeng-Gunung Pohen - Gunung Tapak yang berada di sisi selatan Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Lalu ada lagi persekutuan gugusan kelompok Gunung (Pucak) Bon-Gunung (Pucak) Mangu/Pangelengan - Gunung (Pucak) Sangkur berada di sebelah barat Danau Buyan.
Pucak Mangu sendiri memiliki pasanakan (berkerabat) dengan Pucak Sangkur dan Terate Bang. Uniknya, masing-masing gugusan kelompok gunung itu memiliki satu palinggih pangayatan (semacam perwakilan) di Pura Pucak Mangu di ujung ketinggian puncak Gunung Mangu.
Hal yang unik dan menarik dari kawasan ini adalah keberadaan juuk linglang (sejenis jeruk) yang terletak di utama mandala. Jeruk yang konon keberadaannya telah ratusan tahun ini memiliki cerita tersendiri. Untuk saat ini juuk linglang hanya menjadi legenda yang sering diceritakan dalam drama gong. Namun, legenda itu dianggap nyata oleh masyarakat setempat.
Sebelum dilakukan rehab pura sekitar tahun 2004-2005 lalu, jeruk dengan ukuran batang besar ini berada peResis di tebing pada bagian samping lokasi pura yang saat itu masih sempit. Namun, ketika dilakukan penimbunan timbul pawisik agar jeruk ini tidak dimatikan. Akhirnya dibuatkan lubang yang bertrali agar jeruk ini dapat terus tumbuh. Uniknya batang kecil yang muncul sering hilang dan timbul kembali pada waktu tertentu.
Masyarakat sangat meyakini juuk linglang memiliki khasiat tertentu yang sifatnya ajaib. Dari buah, daun hingga kulit batang diyakini ampuh menyembuhkan berbagai penyakit, baik medis maupun nonmedis. Penanganan penyakit nonmedis paling banyak. Namun buah dari jeruk ini sukar untuk didapatkan dan konon tidak semua orang bisa mendapatkan sebagaimana halnya memetik buah jeruk biasa. Diyakini orang yang bisa memiliki buah jeruk ini merupakan orang pilihan.
Para pemedek biasanya merasa sangat beruntung ketika melihat batang kecil dengan beberapa helai daun menyembul ke permukaan. Sebab, tidak semua pemedek beruntung melihat keberadaannya yang sering hilang tersebut. Masyarakat setempat yang sering mengamati keberadaannya pada mulanya merasa heran ketika jeruk itu hilang.
Saat tertentu jeruk ini menghilang dan dalam waktu yang sulit diketahui muncul kembali dengan posisi dan kondisi yang sama ketika menghilang.






 Jro Mangku Istri Pura Pucak Bukit Sangkur 


Pangider Penataran Beratan
Penataan bangunan pura sudah terlihat bagus. Dari wantilan, berjalan menaiki tangga yang cukup panjang barulah memasuki jaba tengah pura. Dari sini terlihat pohon besar dalam (di jeroan) pura, tak lain adalah pohon bunut dengan bentuk unik, seolah-olah menyerupai goa pada bagian batangnya.
Sesekali terlihat sekelompok kecil kera bergelantungan di diantara ranting pohon yang kokoh. Di bawah pohon ini terdapat pelinggih merupakan pelinggih pertama yang ditemukan di pura ini. Sementara pada palinggih utama di areal pura ini terdapat patung Siwa Pasupati dengan menggunakan busana kuning.
Pembangunan dan rehab telah dilakukan beberapa kali oleh pengempon pura yakni Desa Pakraman Kembang Merta dan Antapan. Di bagian lain juga terdapat pelinggih pengabeh yakni Pelinggih Ratu Bagus Sakti dan Dalem Penerangan. Selain bangunan palinggih, juga terdapat bangunan lain yakni berupa bale gong. Termasuk sarana MCK yang sangat diperlukan juga sudah tersedia.
Pura ini termasuk ke dalam 10 pengider bagi Pura Penataran Beratan yang terletak di tepi Danau Beratan. Sembilan pura lainnya yang masih ada hubungan adalah Pura Pucak Mangu, Pura Manik Umawang (Ulun Danu), Pura Rejeng Besi, Pura Pucak Candi Mas, Pura Teratai Bang, Pura Batu Meringgit, Pura Pucak Pungangan, Pura Pucak Sari dan Pura Kayu Sugih.
Bagi umat yang telah pernah nangkil akan tetap merasakan heningnya suasana pura sehingga tergugah untuk datang kembali. Sangat cocok sebagai tempat mencari ketangan dalam proses pendalaman spiritual. Tidak hanya masyarakat umum yang nangkil ke seni. Seringkali lembaga-lembaga atau sekolah-sekolah memilih mendaki ke Pura Pucak Bukit Sangkur untuk mendapatkan manfaat pencerahan pikiran. Apalagi sehari-hari tinggal di kota yang sangat padat dan bising. Sekali memasuki pura ini akan mendapatkan suasana jauh berbeda dan selalu tertanam dalam ingatan. Jangan lupa memohon air suci yang ada di pura ini untuk pembersihan diri. 

Keris Bali Bersejarah, "Ki Baru Pemastu"


Bilah keris ini dibuat dengan pamor teknik wosing wutah yang juga dikenal dengan istilah pamor Jwalana atau pamor tiban. Warna pamor pada bilah keris ini tampak kurang terang (kurang ndeling),  diduga karena pengaruh bahan pamor yang memang kurang terang dan juga di sebabkan karena  finising warangannya yang terlalu pekat (warangan sepuh/tua).


Keris Tangguh Bali (bentuk gaya Bali) Diperkirakan dibuat pada abad XVI

Bilah
Dhapur            : Carita Buntala Luk 15

Carita Buntala, Carita dalam bahasa Jawa berarti ‘cerita’ sedangkan kata  Buntala berasal dari bahasa sansekerta buntala yang berarti  ‘Bumi’. Keris dhapur Carita Buntala memiliki kelengkapan rerincikan; Kembang kacang/cunguh gajah, jenggot/janggar, sogokan, tikel alis/alis, pijetan/tigasan, lambe gajah/cedar, jalen/taji, sraweyan dan ri pandan/duin pandan. Pada keris Lombok juga terdapat dhapur keris yang bernama Carita Buntala namun kelengkapan rerincikannya agak berbeda, yaitu : Luk 15, greneng, ri pandan, jenggot, sogokan depan, sekar kacang, lambe gajah dan sraweyan.Pada bilah keris ini tampak pada bagian rerincikan janggar/jenggot/ bimokroda telah aus atau dimungkinkan sengaja dihilangkan/dirapikan. Pada bagian pangkal cunguh gajah/sekar kacang juga tampak bekas pahatan  ornamen tumbuhan bersulur (yang dapat diduga tinatah sinerasah emas) yang telah aus/hilang.
Keris Carita Buntala merupakan keris pusaka yang dipercaya untuk perlindungan  dan keselamatan diri, terutama untuk perlindungan dari segala gangguan mahluk halus dan ilmu hitam.


Bilah keris Carita Buntala ini dibuat dalam penguasaan teknik yang mengagumkan. Besinya tampak halus dan matang tempaan, tiap rerincikan dibuat dengan ceruk (lekukan dalam) tegas, dalam, dan bersih sehingga bilah keris tampak  gagah, rapi dan halus. Bilah keris semacam ini menunjukkan dibuat oleh seorang empu yang benar-benar telah mumpuni.
Bilah keris ini disamping dibuat dari bahan yang baik juga tergolong bilah keris yang terawat dengan baik sehingga kondisinya masih benar-benar utuh. Permukaan bilah keris yang halus dan mengkilat menunjukkan bilah keris seringkali difinising/dirawat dengan cara disangling (digosok dengan kayu/bambu/batu berserat/pori-pori halus).

Pamor: Wosing Wutah/Beras Wutah
Bilah keris ini dibuat dengan pamor teknik wosing wutah yang juga dikenal dengan istilah pamor Jwalana atau pamor tiban. Warna pamor pada bilah keris ini tampak kurang terang (kurang ndeling),  diduga karena pengaruh bahan pamor yang memang kurang terang dan juga di sebabkan karena  finising warangannya yang terlalu pekat (warangan sepuh/tua).

Hulu
Bentuk : Dewa Ganesha

Hulu/danganan bentuk Dewa Ganesha tergolong jenis danganan yang paling populer di Bali dan termasuk jenis togogan ( bentuk figur manusia atau dewa-dewa). Hulu/danganan ini dibuat dari bahan kayu eben walad (Dios pyros Rumphii) yang berkualitas bagus. Seratnya yang padat serta warnanya yang hitam kelam tampak serasi dikombinasi dengan bahan emas, perak, dan  batu mulia. Hulu/danganan dilengkapi dengan selut dan wewer dari bahan yang sama.

Warangka

Bentuk : Batu Poh
Warangka dibuat dengan bentuk batun poh (seperti biji mangga/poh). Warangka ini merupakan warangka standar/umum yang banyak dijumpai di Bali. Seluruh bagian warangka di finising sunggingan (sangging) dengan cerita Kalarau (lihat Kalarau hal: 228-229) dengan penekanan bentuk tokoh Kalarau dan Naga Situbondo serta kombinasi ornamentik suwastika khas Bali. ***

Paguyuban Tri Datu Gelar Ngaben Massal


Melihat kenyataan banyak umat yang  belum bisa melaksanakan upacara yadnya, khususnya Pitra Yadnya yang mana para tetua dan atau anggota keluarga lainnya yang telah lama meninggal dan masih terkubur dengan upacara sederhana dalam tingkatan makingsan di pertiwi. Hal itu menggugah perhatian  Paguyuban Tri Datu yang merupakan suatu paguyuban dari lintas “soroh”  untuk membantu meringankan beban umat agar bisa melaksanakan yadnya itu dengan menggelar upacara Pitra Yadnya/Ngaben secara Massal.
Upacara dimaksud diselengggarakan bertempat di Setra Desa Pakraman Denpasar dengan jumlah peserta 69 Sawa . Di mana, 49 Ngaben dengan biaya Rp. 1.750.000 (satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan 20 Ngelunggah dengan biaya 500.000 (lima ratus ribu rupiah).



Pelaksanaan Ngaben Massal ini terlaksana dengan  konsep gotong royong, terbukti banyak dari krama yang tidak ikut dalam pengabenan massal ini menyumbangkan dana dan tenaga. Baik berupa makanan, minuman, perlengkapan, kesenian dan juga berupa “terob” sehingga walau dengan dana yang minim dan terbatas upacara yang cukup besar itu dapat terlaksana dengan baik, aman, dan lancar.
Upacara yang dokomandoi oleh Mangku Made “Dulah” Darpha dari Busung Yeh Monang-Maning dan bertindak sebagai Yajamana Ida Pandita Mpu Dhaksa Merthayoga dari Griya Agung Braban berjalan lancar dengan dibantu pula oleh para Pemangku Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi Kodya Denpasar dan Pusat. Prosesi upacara itu diawali dengan Bumisudha, Mecaru dan Ngulapin pada tanggal 14 Agustus 2011. 15 Agustus 2011 dilaksanakan Malelet, Ngajum, Ngaskara dan Pemerasan. 16 Agustus 2011 dilaksanakan Pangembang/Ngendag , Ngadegan, Budak ke Jero soang-soang. 17 Agustus 2011 dilaksanakan Pembakaran / Pelebon dan Nganyut. Upacara diakhiri dengan  Mekelud / Mecaru di tempat pengabenan.
Pengorong dan dilanjutkan dengan bersih-bersih.  Sementara , untuk upacara selanjutnya yakni  Atma Wedhana diserahkan kembali pada masing-masing peserta untuk melaksanakannya.  Sebagian dari peserta memutuskan untuk mengikuti upacara Atma Wedhana Massal di Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi Pusat yang akan dilaksanakan pada 28 Agustus 2011 mendatang. *** Pinandita. Drs. I Ketut Pasek Swastika

Bayi Melik hanya Hidup 7 Jam di Bangli, "Tangan Kanan Lebih, Lekad Ngudan"


Seorang bayi terlahir prematur dengan kondisi tidak sempurna di Bangli. jari tangan kanannya lebih, lebih mengenaskan  bayi ini juga tanpa anus (maaf : song jit-red). Bahkan tidak sampai hidup sehari dia akhirnya meninggal, kelahiran langka ini baru pertama kali terjadi di kota sejuk, Bangli. Ada apa lahirnya rare ini?

Belum sempat memiliki nama, anak ketiga pasangan Ketut Muliarta (39) dan Wayan Sari (38) ini menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang hidup selama tujuh (7) jam saja. Bayi laki-laki ini  lahir pada  Senin (15/8) di rumah pasangan Muliarta dan Sari di Desa Bangun Lemah, Susut, Bangli, dengan usia kandungan baru enam bulan.
Saat terlahir,  bayi laki-laki inipun hanya berbobot 1.350 gram jauh di bawah bayi yang lahir pada umumnya. Selain itu usia kelahiran yang terbilang muda membuat beberapa organ dalam, seperti paru-paru belum berkembang secara sempurna.
Akibat terlahir mendadak, akhirnya orang tuanya mengantar bayinya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli setelah bayi terlahir. Namun sayang setelah tujuh jam menjalani masa krisis hidupnya bayi berusia 6 bulan di kandungan inipun meninggal dunia.
Ketut Muliarta, ayah si anak menuturkan tidak mendapat firasat atau tanda-tanda tertentu saat istrinya tiba-tiba saja melahirkan di rumah. Sebelumnya istrinya yang juga bekerja sebagai seorang petani ini tampak biasa saja namun entah kenapa perutnya tiba-tiba saja mules dan tidak sampai satu jam bayinya pun terlahir tanpa disengaja. “Istri tiang juga mengaku tidak bermimpi aneh sebelum anak ketiga kami lahir premature,” ujarnya menyesali kejadian ini.
Ia mengaku ikhlas dengan kepergian anak ketiganya itu, selain kemungkinan selamatnya kecil juga, dia mengaku kasihan melihat keadaan si bayi yang tampak kesakitan semasa hidupnya yang sehari itu.  “Untuk upacara penguburannya kami laksanakan pada Rabu siang, sesuai petunjuk hari baiknya,” kata Muliarta.

Lahir Teraneh di Bangli

Saat terlahir, bayi laki-laki inipun hanya berbobot 1.350 gram jauh dibawah bayi yang lahir pada umumnya, selain itu usia kelahiran yang terbilang muda membuat beberapa organ dalam, seperti paru-paru belum berkembang secara sempurna.
“Selain memiliki paru-paru yang belum berkembang sempurna, bayi ini juga tidak memiliki lubang anus,”istilahnya atresia ani, atau kelainan di mana tidak memiliki anus,”  kata dr. Putu Suartawan, Sp.A, dokter spesialis anak yang menangani si bayi, di RSUD Bangli, Selasa. Kelainan ini terbilang langka di Bangli, sehingga para medis serta alat yang ada di RS Bangli Belum sanggup untuk merawat bayi ini.
Tak hanya itu, saluran kerongkongan si bayi pun juga diduga buntu tidak tersambung dengan organ pencernaan. Hal ini membuat si bayi tidak dapat diberikan makan seperti susu. Peryataan ini dinyatakan para medis rumah sakit umum Bangli, setelah mencoba memasukan kateter, yakni alat yang digunakan untuk memasukan atau mengeluarkan cairan ke dalam mulut si bayi untuk memberikannya nutrisi, namun alat ini tak dapat masuk ke dalam karena krongkongan si bayi tersumbat.  “Kita menduga ada sesuatu yang tidak terhubung antara krongkongan dengan saluran pencernaan, kalau kita paksakan bisa masuk ke saluran pernapasan dan ini sama saja membunuh si bayi,” terang Suartawan kembali. Kelainan organ lain yang diderita si bayi yakni jari tangan kanan juga memiliki jumlah berlebih, yakni 6 buah,” ini memang sering terjadi pada bayi yang memiliki kelainan organ, biasanya memang kelainannya lebih dari satu atau multipel anomali kongenital,” terangnya. Namun kelainan jumlah jari ini tidak berdampak medis bagi kondisi bayi.
Keadaan bayi ini harus dibantu dengan tabung oksigen untuk bernafas. Namun tiba-tiba, sang bayi susah bernafas dan harus dibantu dengan pertolongan medis dari para medis di RS Bangli, beruntung nyawanya masih sempat tertolong.
Kelahiran prematur dan kelainan ini menurut dr. Suartawan bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya usia ibu, Wayan Sari yang hamil pada usia yang di luar masa produktif. “Penyebabnya mungkin oleh usia ibu yang hamil pada usia tua,” terang Suartawan. ***  Krista. 

Desa Pakraman Panjer Gelar Karya Ageng di Pura Dalem, "Puncak Karya Anggarakasih Tambir"

Pepalihan upacara lan mamungkah, Caru Balik Sumpah Agung, Ngenteg Linggih, Padudusan Agung, Pemayuh Desa, Panyegjeg Bumi, Nyenuk, Makebat Daun, Nangun Ayu di Pura Dalem Desa Pakraman Panjer Anggara Kliwon, Tambir 30 Agustus 2011. Persiapan dilakukan jauh sebelum upacara puncak, sehingga krama otomatis melakukannya dengan yasa kerti agar karya berjalan dengan sukses dan lancer secara sekala dan niskala.



Desa Pakraman Panjer, Denpasar Selatan bakal menggelar upacara besar yakni Caru Balik Sumpah Agung, Ngenteg Linggih, Padudusan Agung, Pamayuh Desa, Panyegjeg Bumi, Nyenuk, Makebat Daun, Nangun Ayu di Pura Dalem Desa Pakraman Panjer yang puncak karyanya akan berlangsung pada Anggara Kliwon, Tambir tepatnya pada tanggal 30 Agustus 2011 mendatang.
Menurut Prawartaka Penyarikan Karya, I Wayan Ariawan, SP., upacara itu telah dimulai pada Redite Kliwon, Pujut 31 Juli 2011 dengan melaksanakan upacara Matur Piuning lan Pamiyut di Pura Dalem, Maguru Piduka di Pura Kahyangan, Caru Panyomia lan Caru Cuntaka di Prajapati, Melanting, Nyukat Genah di Pura Beji, Ngawit Makarya Piranti Upakara dan Nyengker Setra, dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra.
Sukra Paing, Pahang 12 Agustus 2011, melaksanakan upacara Nuhur Tirta di Pura Beji, Pura Dalem Sidakarya, Pura Selukat, dan Pura Tirta Empul, dipuput Pemangku Pura soang-soang.
Saniscara Pon, Pahang 13 Agustus, melaksanakan upacara Melaspas Piranti Upacara, Nyuci/Ngingsah, Negtegang Beras, Ngadegang Ida Bhatara Sri Sedana, Ngunggahang Sunari, Rare Angon, Pengalang Bilang Bucu, bertempat di Utama Mandala, dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra.
Anggara Pon, Merakih 23 Agustus, mementaskan Calonarang di Jaba Pura Dalem. Wraspati Kliwon, Merakih 25 Agustus, dilaksanakan upacara Mapepada di Jaba Tengah, Nedunang Saha Ngias Pralingga Pelawatan lan Tapakan Ida Bhatara di Utama Mandala, dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra dan pemangku pura soang-soang.
Sukra Umanis, Merakih 26 Agustus, dilaksanakan upacara Caru Balik Sumpah, Mlaspas, Pasupati Pralingga, Karya Pangingkup, Pemayuh Desa, Panyegjeg Bumi, di pura Dalem, Pura Kahyangan, Prajapati, Melanting, dan Pura Beji, dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra, Ida Pedanda Boda, Ida Rsi Bujangga, dan Ida pedanda lainnya.
Saniscara Paing, Merakih 27 Agustus, dilaksanakan upacara Nuhur Pakuluh di Pura Sad Kahyangan oleh pemangku pura soang-soang.
Redite Pon, Tambir 28 Agustus, Melasti di Segara Sanur dan Mendak Siwi di Marga Tiga. Semua upacara itu dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra. Pada hari itu juga dilaksanakan upacara Memasar di Pasar Nyanggelan, Panjer.
Soma Wage, Tambir 29 Agustus, dilaksanakan kegiatan Memben Karya/Mlaspas Bagia Pula Kerti lan Upakara sane Mangge ring Puncak Karya di Pura Dalem lan Beji, Pura Kahyangan lan Prajapati, Pura Melanting, dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra, Ida Pedanda Istri Mas dan Ida Pedanda Istri Sidemen.
Anggara Kliwon, Tambir 30 Agustus, merupakan puncak karya yang diawali melaksanakan kegiatan Mebanten Sumping Keladi, Nyampat, Mancaniga, dan Nyuarang Kulkul di Pura Dalem, Kahyangan Prajapati, Melanting, dan Beji dipuput pemangku pura, selanjutnya dilaksanakan upacara puncak karya dengan melaksanakan upacara Pengebek, Pengenteg, Pedudusan, Peselang, Pedatengan, Pedanan-danan, Mendem Guling I Bagus lan I Ayu di Pura Dalem, Kahyangan, Prajapati, Melanting, dan di Pura Beji, dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra dan Ida Pedanda Boda dan Ida Pedanda lainnya.
Buda Umanis, Tambir 31 Agustus, dilaksanakan upacara Mlayagin Karya lan Bakti Penganyar di Pura Dalem, Kahyangan, Prajapati, Pura Melanting, dan Beji dipuput pemangku pura soang-soang. Wraspati Paing Tambir, 1 September, dilaksanakan upacara Nyuyukin Karya lan Bakti Penganyar di Pura Dalem, Kahyangan, Prajapati, Pura Melanting, dan Beji dipuput pemangku pura soang-soang.
Sukra Pon, Tambir 2 September, melaksanakan upacara Ngalemekin Karya, Nyenuk, Nangun Ayu, Makebat Daun di Pura Dalem, Kahyangan, dan Pura Melanting dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra, Ida Pedanda Istri Mas, dan Ida Pedanda Istri Sidemen.
Saniscara Wage, Tambir 3 September, dilaksanakan upacara Majauman, Rsi Bojana, Bakti Penyineb, Nuek lan Mendem Bagia Pulakerti, Ngeseng lan Mendem Lis Pring, Pralina Sanggar Tawang di Pura Dalem, Kahyangan, dan Pura Melanting dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra, Ida Pedanda Istri Mas, dan Ida Pedanda Istri Sidemen.
Redite Kliwon, Medangkungan, 4 September, dilaksanakan upacara Nyegara Gunung ke Pura Segara Goa Lawah, Pura Goa Lawah, dan Pura Besakih yang kesemua kegiatan itu dipuput Ida Pedanda Gede Giri Putra.
Sejumlah ilen-ilen yang mengiringi setiap upacara itu di antaranya; Baleganjur, Kidung/Pesantian, Gong Jangkep, Rejang, Baris Gede, Baris Punia,Wayang Lemah, Topeng, serta pementasan hiburan seperti Wang Cenkblong, dan hiburan lainnya.
Pamucuk Karya: I Wayan Rastina, SE. Prawartaka Penyarikan Karya, I Wayan Ariawan, SP. Panguning/Pamastika Bendesa Pakraman Panjer, Prof. DR. I Nyoman Budiana, SH., M.Si.,
*** Andiawan

Minggu, 21 Agustus 2011

Dharmayatra Ashram Sari Taman Beji Ngubeng di Banyuwangi, Jatim, "Ashram Sari Taman Beji Diamankan Patwal Polres Pasuruan"

Rombongan berangkat 25 Juni 2011 pukul 07.00 Wita dengan peserta berjumlah 150 orang terbagi menjadi tiga bus, mula pertama berkumpul di Lapangan Kompyang Sudjana dua bus dan di Renon satu bus  serta ada juga yang naik dalam perjalanan mengingat peserta berasal dari seluruh Bali. Seperti biasanya sesampainya di Pura Rambut Siwi rombongan tak lupa menghaturkan sembah bhakti sebagai awal perjalanan untuk mendapatkan anugrah-Nya agar senantiasa mamargi antar labda karya sidaning don (berjalan lancar).

Reporter : Andiawan



Semua peserta tak terkecuali tiga orang sulinggih di antaranya Ida Pandita Mpu Sidyana Samyoga dari Griya Agung Cemagi, Ida Pandita Mpu Wiswarupa Bhiru Dhaksa dari Griya Agung Adika Sari dan Ida Pandita Mpu Wija Karma Niyasa Griya Puser Tegalwangi Jagapati dengan kusuknya menghaturkan sembah memohon anugrah keselamatan, kerahajengan dan kerahayuan selama melaksanakan dharmayatra.
Selanjutnya rombongan menuju Pelabuhan Gilimanuk dan menyebrang menuju Pelabuhan Ketapang dan tiba pukul 11.00 Wita. Setibanya di Pasuruan, tepatnya di pertigaan Grati menuju  Sendang Banyubiru, rombongan telah ditunggu oleh Unit Satlantas Patwal  Polres Pasuruan yang dikomandoi oleh  Iptu I Gde Suka Ana yang juga menjabat sebagai Ketua Parisadha Hindu Dharma Pasuruan. Kemudian rombongan dikawal bersama umat Hindu Pasuruan sampai ke tujuan (Sendang Banyubiru). Sementara, di Sendang Banyubiru, rombongan telah ditunggu sejumlah tetua desa serta Kadis Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak Agung Maryono bersama staf, serta petugas Mantri Hutan beserta jajarannya. Beberapa petugas (polisi) berpakaian preman pun tampak mondar-mandir menjaga keamanan.
Rombongan tiba sekitar pukul 17.00 Wita. Sejumlah awak media baik cetak maupun elektronik meminta konfirmasi atas kunjungan dimaksud. Terlihat  ketua rombongan Pinandita Pasek Swastika memberikan suatu pemaparan tentang maksud dan  tujuan pelaksanaan dharmayatra sekaligus prosesi Ruwatan Pabayuhan di tempat yang terlihat cukup angker itu.
Sejumlah pohon kayu besar yang tumbuh subur, tinggi dan berdaun rindang itu turut menambah keangkeran tempat itu. Sementara, pohon Beringin yang berada di tempat itu, diyakini oleh warga setempat ditunggu makhluk gaib berupa Gamang. Menurut Pinandita Pasek Swastika, pohon Beringin dimaksud adalah Wringin Sungsang, yang mana tepat di bawahnya terdapat kelebutan (sumber air) yang merupakan sumber amretha (kehidupan). Air mengalir menjadi anak sungai dan selanjutnya menyatu dengan sungai yang mengalir pada bagian hilirnya yang kemudian menjadi sumber pengairan beribu hektar sawah.
Setelah ngaturang Pakeling (matur piuning) pada masing-masing situs  di antaranya, di Hulu Sendang yang merupakan tempat disimpannya beragam Arca yang ditemukan di sekitar sendang tua itu seperti Ganesa, seorang pertapa, siwa, pandito, hewan,  dan lainnya, serta di Situs lainnya yakni pada Patung/Arca Kala dan di Situs Wringin Sungsang, sebatang pohon beringin yang tidak jelas terlihat ujung pangkalnya.
Di samping itu, rombongan tak lupa ngaturang pakeling di pohon randu hutan kembar yang diyakini sebagai tempat memohon penyatuan sebagai wujud cinta kasih. Atas arahan ketua rombongan, Ida Pandita Mpu Sidyana Samyoga melaksanakan pemujaan memohon Air Suci untuk Jejaton Rwatan Bebayuhan.
Begitu Ida Pandita Mpu nguncarang mantra-mantra suci dengan kusuknya, aura magis terasa sangat kuat, dan bahkan sejumlah peserta rombongan mengaku merasakan getaran aneh yang begitu kuatnya menghantam tubuhnya. Tak hanya itu, wringin sungsang (pohon Beringin-red), daunnya seketika terhempas ke sana ke mari bergelayutan diterpa angin seraya mengeluarkan suara riuh, menambah semakin kuatnya aura magis di tempat itu.
Setelah Air Suci Jaton Bebayuhan siap, prosesi Bebayuhan pun dimulai langsung oleh ketua rombongan kepada peserta yang menyertakan anak dan mantu dengan jalan membasuhkan air suci oleh si anak – mantu kepada orangtua dan mertua tepatnya di kaki. Selanjutnya orangtua-mertua membasuhkan air suci di bagian muka anak-mantu. Demikian juga bagi pasangan suami-istri, di mana, si istri membasuhkan air suci pada kaki suami dan si suami membasuhkan air suci ke muka istri.

Mabayuh Diwarnai Kegaiban

Setelah prosessi bebayuhan selesai masing-masing peserta tak terkecuali Ida Pandita Mpu menceburkan diri ke dalam kolam yang  ada  ikan ajaib dan berenang bersama-sama. Anehnya, ikan-ikan itu tak terlihat ketakutan, dan justru berbaur dengan peserta rombongan dan bahkan dengan lincah dan kegirangan meliak-liuk dengan riangnya. Sejumlah peserta rombongan bahkan tampak hingga menitikkan air mata atas anugrah yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
Setelah semuanya dianggap cukup, peserta kembali naik ke daratan untuk berganti pakaian lanjut melaksanakan muspa bersama dengan diawali pelaksanaan pembersihan areal sekaligus natab dengan biakala dan prayascita, pembagian benang tridatu dan karawista-kalpika yang telah dipasupati serta diakhiri muspa bersama dan pemberian tirta. Saat meditasi, salah seorang Jro Dasaran kerawuhan sambil memanggil-manggil Jan Banggul yang tiada lain tertuju kepada ketua Rombongan Pinandita Pasek Swastika serta berpesan kepada semua umat yang ada di Sendang Banyubiru, untuk senantiasa memelihara dan menjaga kesucian sumber Amretha itu.
Pun berpesan, untuk senantiasa meningkatkan srada bakti serta keyakinan terhadap Ida Hyang Widhi Wasa dan Leluhur Kawitan, sehingga akan terhindar dari berbagai bencana yang kerap kali terjadi di dunia ini demikian sebalinya.
Awalnya, ketua rombongan kurang yakin dan percaya akan kerawuhan itu, dengan teknik tersendiri, Pinandita Pasek Swastika tampak mencekal pergelangan tangan dan selanjutnya menjepit  tangan khususnya di antara ibu jari dan telunjuk Jro Dasaran. Ternyata Jro Dasaran tak merasakan sakit sedikit pun dan bahkan beliau terus ngoceh mengingatkan umat agar selalu Eling pada Jati Diri’ sebagai Umat Hindu. Selanjutnya, setelah Pinandita Pasek Swastika menepuk tanah tiga kali dengan menggunakan tangan kiri, Jro Dasaran pun terlihat lemas dan linglung.
Setelah hari menjelang malam, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Mojosari dengan melintasi jalan menuju Warung Dowo yang juga dikawal langsung oleh Kanit Lantas Pasuruan beserta jajarannya, hingga di Watu Kosek tepatnya di Desa Ngoro. Setelah  berjalan sejauh dua kilo meter, rombongan kembali disambut umat Sumber Tanggul Mojosari Mojokerto bersama Romo Katiran selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Mojokerto. Kurang lebih pukul 21.00 Wita, rombongan tiba di Pura Sasana Bina Yoga Sumber Tanggul yang diempon oleh 24 KK umat Hindu se-Mojosari Kabupaten Mojokerto. Setelah melakukan ramah tamah, acara dilanjutkan muspa bersama dan kemudian menggelar Dharma Wacana oleh Pinandita Pasek Swastika perihal Bhakti pada Ida Hyang Widhi Wasa dan Bhatara Kawitan. Tampak semua yang hadir begitu antusias mengikuti dan mendengarkannya.
Mereka (umat Hindu setempat-red) mengaku bahagia dan bangga menjadi umat Hindu walau dalam keadaan serba kekurangan serta merasa sangat senang dikunjungi umat Hindu dari sejumlah daerah di Bali. Hal itu disampaikan Ketua Parisada Hindu Dharma Mojokerto, Romo Katiran. Dalam kesempatan itu sebagai bukti kepedulian terhadap umat setempat, terlebih pura yang ada dalam proses pembangunan, Ketua Rombongan mengajak untuk medana puniakan rejeki sesuai dengan keikhlasan. Sekadar diketahui, pura yang semula hanya seluas dua are, dengan kerja keras dan tekad yang kuat, kini umat Hindu setempat berhasil membebaskan lahan di sebelahnya, hingga luas pura menjadi 20 are.
Persembahyangan diakhiri dengan menghaturkan punia  dari peserta berupa uang tunai  sebanyak satu juta seratus ribu serta  punia berupa lukisan Acintya dan Ganesa dari Ida Pandita Mpu Nabe Sidyana Samyoga dari Griya Agung Cemagi. Sebagian peserta menginap di di rumah penduduk dan sebagian lagi memilih………***  Bersambung 





Runtuhnya Kerajaan Bali Kuno


Tidak lama kemudian, murid-murid beliau Sang Mahayogi membangun beberapa palinggih utama yakni : Meru Tumpang Tiga (pajenengan mageng) diperuntukan sebagai sthana  Bhatara Sakti Sasuhunan di Gunung Raung. Dibangun juga Bale Kulkul (Pajenengan Kulkul) yang dibuat dari kayu “tangkai bunga seleguwi”.

Reporter & Foto : Putu Patra


Pajenengan Kulkul (kentongan) tersebut dibunyikan saat Ida Bhatara dimohon untuk turun dari kahyangan bila akan melaksanakan upacara melasti. Juga dibangun Bale Agung yang berhulu (mahulu) di selatan, mempunyai 11 ruangan dan bertiang 24. Bale Agung itu disebutkan dibawa dari Jawa (Gunung Raung), kemudian dibangun kembali yang di hulu/di bagian sebelah selatan linggih Ida Bhatara Sasuhunan sane malinggih di Bale Agung dan di bagian arah utara/tebenan berfungsi untuk tempat rapat (pasamuan) penduduk desa (karama desa) sejak dahulu. Dan tempat itu juga dipakai untuk membagi-bagi cacaran paolih-olih karama desa setelah selesai  menghaturkan upacara Dewa Yadnya.
Diceritakan sekarang, pada masa pemerintahan Sri Haji Kesari Warmadewa yang didukung oleh rakyat Singhamandawa dan para brahmana, rsi dan para bhiksu merencanakan membangun kembali pura-pura yang ada di wilayah kerajaannya, terutama yang sudah rusak disertai dengan upacara Dewa Yadnya  sepeti dahulu. Itulah yang menyebabkan subur makmur kerajaan sewilayah kerajaan Bali. Dan ada titah Baginda Raja kepada rakyat semua, agar seluruh orang yang berada di kerajaan Bali selalu ingat menghaturkan bhakti di pura-pura yang telah dibangun oleh leluhur dahulu. Kalau tidak ingat akan terkena bencana dan selalu bertengkar dengan kerabatnya. Entah berapa lama Baginda raja memerintah akhirnya beliau kembali ke Sorgaloka (meninggal dunia).
Lama kelamaan setelah silih berganti menduduki tahta kerajaan Bali Kuno, sekarang ada salah satu keturunan baginda raja terdahulu yang bertahta di Kerajaan Balidwipa. Beliau bergelar Sri Dharma Udayana Warmadewa. Beliau memerintah sekitar tahun 911 Saka (989 Masehi). Pada masa pemerintahan baginda raja konon sejahtera, subur dan makmurlah kerajaan, karena beliau didukung oleh rakyat yang sangat setia, dan beliau mengangkat  sejumlah senapati yang terhimpun dalam suatu lembaga pemerintahan yang disebut Pakira-kiran I jro makabehan. Bertambah-tambah kewibawaan beliau, karena Dharmapatni sangat paham terhadap berbagai pengetahuan  dan ilmu pemerintah. Pada saat itu baginda raja lagi menitahkan untuk melengkapi sejumlah pura yang telah dibangun oleh leluhurnya dahulu antara lain : Hyang  (pura)  Bukit Tunggal, Hyang (pura) Bangkiang Sidhi, dan Hyang (pura) yang ada di Padang (bangunan suci yang ada di Padangbai : Pura Silayukti). Kemudian beliau membangun lagi kahyangan-kahyangan di beberapa desa (banuwa/thani) seperti Hyang Api, Hyang Tanda dan Hyang Karimana, juga membangun pasraman para mpungku (mpu) yang mempunyai kewajiban memelihara suatu bangunan suci. Banyak lagi pura/parahyangan yang dibangun oleh keturunan beliau kemudian. Demikianlah yang tertulis dalam prasasti.
Tidak diceritakan setelah lama berganti-gantian tahta di kerajaan Balidwipa, kemudian ada salah seorang keturunan baginda raja yang mengendalikan kerajaan Balidwipa beliau bergelar Sri Gajah Wahana, Sri Tapolung atau disebut juga Sri Silahireng. Setelah dinobatkan menjadi raja beliau bergelar Sri Asyasura Ratna Bhumi Banten. Pada masa pemerintahan beliau, memang banyak bala tentara yang setia, juga didukung oleh para senapati, para rohaniwan dari agama Siwa/Hindu dan agama Budha, para Brahmana Agung dan para Rsi, yang “mengelilingi” singasana baginda raja, sesuai dengan  tugas kewajibannya masing-masing.  Tidak ada yang membelot dan bertentangan satu sama lainnya, semua pejabat saling menghormati, semua menjunjung kedudukan Sri Haji. Itulah yang menyebabkan sejahtera  kerajaan Bali sewilayahnya, sama-sama menginginkan kesempurnaan hidup. Pemerintahan Beliau diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1259 Saka (1337) Masehi). Entah sudah berapa lama beliau mencapai kejayaan dan kewibawaan dalam pemerintahan, kemudian beliau memilih untuk tidak lagi mempersembahkan upeti ke Wilwatikta(Kerajaan Majaphit) seperti yang dilakukan  oleh pendahulu beliau, apalagi setelah Wilwatikta diperintah oleh raja yang dianggap keturunan Ken Angrok.    


Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 17.  Terima kasih.

Ki Baju Rante


Keris Ki Baju Rante berdhapur keris pedang. Dhapur keris pedang cukup populer berkembang di Bali. Keris dengan bentuk semacam inilah yang diduga oleh para kalangan masyarakat perkerisan sebagai keris yang digunakan senjata perang.


Keris Tangguh Bali ini bernama lengkap Keris Komando Pajenengan Ki Baju Rante yang dibuat Mpu Pande Rudaya.

Bilah
Dhapur : Keris Pedang

Dari Kerajaan Karangasem, abad ke 18.  Keris ini dikerjakan pada masa Raja Karangasem bergelar Ida Angloerah Made Karangasem. Dikerjakan oleh Mpu Keris Kerajaan Karangasem Pande Rudaya dari Desa Jasi, Karangasem, di pelataran Puri Gede Karangasem.
Keris ini sangat bertuah, diberi nama Ki Baju Rante karena dapat menembus baju rante/baja (kre). Pada 8 Oktober 1989, keris Ki Baju Rante dikoleksi oleh AA. Gde Rai Suteja, selaku  putra raja Karangasem terakhir (AAA Angloerah Ketoet Karangasem, 1888 – 1966, bertahta 1908 – 1955). Dalam surat keterangan yang ditandatangani oleh AA Gde Djelantik, (putra tertua almarhum AAA. Angloerah Ketoet Karangsem,  tertanggal 8 Oktober 1989, yang bertindak selaku Ketua Keluarga Besar Puri Agung Karangasem, menerangkan, Keris Ki Baju Rante diberikan langsung secara pribadi oleh raja.

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 17.  Terima kasih.

Pandita Mpu Eka Dharma Santi & Pandita Mpu Istri Eka Dharma Santi Satya Semaya, "Tresna Sampai Lebar"


Tresna hingga lebar itulah yang dialami salah satu sulinggih mabhiseka Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi dari Griya Agung Pasek Tuwed, Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Jembrana. Pasalnya, Ida Pandita Mpu Istri Eka Dharma Santi yang lebar (meninggal) tanggal 20 Maret, kemudian disusul  Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi yang leba tanggal 7 April 2011.. Kejadian ini memang sangat jarang terjadi, dan mungkin baru pertama kali. Barangkali semasa hidupnya Ida Pandita Mpu pernah berjanji dan Tuhan mengabulkan permohonannya itu. Sudah dipastikan diaben bersama-sama. Seperti apa ceritanya, berikut hasil penuturan Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika, cucu dari salah satu keluarga kandungnya almarhum.

Reporter : Andiawan
Foto  :  Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika



Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi dari Griya Agung Pasek Tuwed yang saat walaka bernama Ketut Sutya dan lebih akrab dipanggil Pan Dame ini mengakhiri hidupnya atau telah dipanggil Sang Kuasa pada tanggal 7 April 2011 yang lalu. Almarhum Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi meninggalkan seorang anak angkat yang diperoleh dari anak salah satu saudara kandungnya. Kini telah dikaruniai cucu dua orang dan nantinya salah satu cucunya akan nyambung rah (melanjutkan). Demikian dituturkan salah satu cucunya dari salah satu saudara kandungnya, yakni Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika pemilik Ashram Sari Taman Beji, sekaligus sebagai salah satu pengurus di MGPSSR pusat bidang kesulinggihan.
Lebih lanjut dijelaskan, semasa hidupnya Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi bersama Ida Pandita Mpu Istri Eka Dharma Santi dikenal seorang yang pekerja keras dan pantang menyerah. Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi memulai karirnya sebagai Mantri Kehutanan tahun 1950, selanjutnya tahun 1965 dipercaya menjadi Kepala Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Jembrana, sambil membuka usaha sebagai Kleder (bidang pengiriman babi) antar pulau yakni dari Bali ke Jawa. Pemilik CV KMK ini dikenal sangat pintar melihat peluang bisnis. Kejujuran, ketekunan, kerja keras serta jiwa pantang menyerah dimiliki akhirnya mengantarkan (almarhum) Ida Pandita Mpu pernah mencapai sukses dan bahkan berjaya. Selain itu, Ida Pandita Mpu juga merupakan tokoh politik salah satu partai yang sangat disegani di Jembrana.
Selanjutnya, tahun 1970 Ida Pandita Mpu diangkat menjadi pemangku di Dadia, lanjut tahun 1973 Ida Pandita Mpu menapak Jro Gede hingga akhirnya tahun 1982 memutuskan melaksanakan upacara madwijati, sekaligus resmi menjadi sulinggih, hingga pada tanggal 7 April 2011 ini Ida Pandita Mpu lebar/dipanggil oleh Sang Maha Kuasa alias meninggal.
Selama beliau menjadi pemangku dan Jro Gede, kata Pinandita Pasek Swastika, terus berusaha mengisi diri melalui belajar melalui aguron-guron maupun melalui membaca dari berbagai sumber baik buku maupun lontar. Ida Pandita Mpu menjatuhkan pilihannya manabe kepada Ida Pandita Mpu Nabe Santika di Griya Pasek Kedampal, Abiansemal, Badung, yang juga beberapa hari telah dilaksanakan upacara palebon tepatnya Jumat tanggal  8 April 2011.  
Selama puluhan tahun menjadi sulinggih kata Pinandita Pasek Swastika, banyak yang berkeinginan untuk menjadi sisia, namun karena suatu alasan tertentu dan sangat dirahasiakan, Ida Pandita Mpu tak pernah mengabulkan, melainkan justru menyarankan untuk manabe kepada sulinggih yang lain.
“Kalau dibilang tidak mampu, menurut penilaian tiang, beliau memiliki kemampuan yang tak kalah dengan sulinggih lainnya, baik mengenai pemahaman ajaran agama, hingga kualitas jnananya. Sering tiang menanyakan alasannya, tetapi hingga beliau lebar tidak bersedia mengatakan. Barangkali beliau memiliki alasan yang orang lain tidak boleh tahu,” ujar Pinandita Pasek Swastika menegaskan.
Saat upacara Nyiramang Layon dilaksanakan disambut dengan hujan lebat. Selanjutnya upacara Palebon,  lanjut Pinandita Pasek Swastika, dilaksanakan tanggal 13 April 2011. Semoga Hyang memberikan Tempat Bersama-Nya. 


Parindikan Sulinggih
Nama Walaka                          : Ketut Sutya
Nama Akrab/Panggilan           : Pan Dame     
Bhiseka                                   : Ida Pandita Mpu Eka Dharma Santi
Lahir                                        : 1922
Nama Istri Walaka                  : Ni Wayan Tayu
Bhiseka                                   : Ida Pandita Mpu Istri Eka Dharma Santi
Lahir                                        : 1930
Anak                                       : Anak Angkat (salah satu anak saudara kandungnya)
Cucu                                        : Dua putra
Nama Griya                             : Griya Agung Pasek Tuwed,
Alamat                                    : Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Jembrana
Didhiksa                                  : Tahun 1982
Nabe                                        : Ida Pandita Mpu Nabe Santika
Griya                                       : Griya Pasek Kedampal, Abiansemal, Badung
Jabatan                                    : Mantri Kehutanan tahun 1950, Kepala Desa Tahun 1965, Kleder (usaha pengiriman babi Bali-Jawa), Pemangku Dadia tahun 1970, Jero Gede tahun 1973, hingga Madhiksa tahun 1982 dan lebar tanggal 7 April 2011. 

Wangsit Gajah Para kepada Cucunya Ngurah Kaler


Adapun pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya “ Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di pucak Gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari),  dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh serta tari-tarian, karena ibuku dulu bidadari”.


Kembali diceritakan, waktu I Gusti Ngurah Pulaki, memohon berubah wujud menyatu dalam alam tidak tampak mengikuti Bhatara di Mlanting, I Gusti Ngurah Pegametan, sedang tidak ada di rumah, beliau pergi mengunjungi Bendesa Kelab, yang berada di Jembrana. Beberapa hari berada di sana, kembali pulang dia ke Pulaki, bersama semua pengiringnya, tidak diceritakan dalam perjalanan, segera sampai di perbatasan desa, kaget perasaannya I Gusti Ngurah Pegatepan, karena tidak seperti sedia kala, bingung perasaan I Gusti Ngurah Pegatepan………………..,
“Wahai saudaraku, apa sebab tidak tampak olehku penduduk desa itu, tidak seperti sedia kala tempat tinggal desaku saat ini”.
Kemudian terdengarlah suara-suara binatang bercampur dengan suara harimau, mengaum ribut tiada tara, terkejut perasaan  I Gusti Ngurah Pegatepan, tidak kepalang tanggung hati I Gusti Ngurah Pegatepan, ingin mengadu keberaniannya, beliau marah dan mengumpat-umpat, ujarnya “ Wahai engkau harimau semua, tampakkanlah wujudmu, hadapi keberanianku sekarang”.
Segera I Gusti Ngurah Pegatepan melangkah, tidak kelihatan yang bersuara gemuruh itu, kemudian beliau berjalan hendak meninjau Toya Anyar. Berjalan beliau bersama prajurit, sampai tiba di Rajatama, perjalanannya diikuti oleh wujud yang maya itu, sekilas tampak berupa harimau, semua pengikut itu perasaannya menjadi takut, semakin mendekat harimau itu, perilakunya seperti orang menghormat, menunduk pada I Gusti Ngurah Pegatepan, kemudian mengumpat serta menghunus keris. Jadi hilang rupa bayangan itu, segeralah beliau melanjutkan perjalanan. Tidak diceritakan desa yang telah dilewati, orang-orang yang mengiringnya. Diceritakan sekarang telah sampai di Desa Wana Wangi, banyak pangiring itu berlarian teringat para pengiring yang hilang sebanyak lima puluh orang, karena jurangnya menyulitkan, berbahaya, dan terjal diliputi oleh gelap, tidak terlihat keberadaan di dalam hutan.
Tidak terpikir oleh I Gusti Ngurah Pegatepan, tidak menghiraukan lembah terjal perjalanan beliau, segera tiba di Sambirenteng. Menuju ke timur perjalanan beliau, sampailah beliau di hutan sekitar  Sukangeneb Toya Anyar. Beristirahatlah beliau di sana, dihitung prajuritnya, dulu diiring oleh  dua ratus prajurit, telah hilang tersesat lima puluh orang, sekarang pengiringnya tinggal seratus lima puluh orang, itu sebabnya (tempat itu), bernama Desa Karobelahan sampai sekarang.
Adapun lima puluh orang pengikut yang tersesat, dikumpulkan bertempat di Bengkala. Adapun beliau I Gusti Ngurah Pegatepan, beserta pengikut menuju keluarganya di Sukangeneb Toya Anyar. Tidak diceritakan untuk sementara.
Cerita kembali lagi, sekarang diceritakan beliau Arya Gajah Para, setelah lama beliau berada di Sukangeneb Toya Anyar. Karena masa tuanya, pada saatnya akan dijemput oleh Kala Mrtyu (Kematian), sudah tampak tanda-tanda kematiannya. Sudah diyakini oleh beliau, tidak boleh tidak beliau pasti akan meninggal.
Adapun pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya “ Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di pucak Gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari),  dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh serta tari-tarian, karena ibuku dulu bidadari”.  Demikian pesan beliau Arya Gajah Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaleran, cucu beliau mematuhi, tidak berani menolak pesan kakeknya.
Tidak diceritakan lagi telah tiba saatnya maka wafatlah beliau Arya Gajah Para. Adapun cucu beliau yang bernama I Gusti Ngurah Tianyar, tidak mengetahui wasiat tersebut, karena (pada saat itu) beliau tidak berada di rumah, beliau pergi ke Gelgel, menghadap kepada Sri MahaRaja, bersama-sama dengan I Gusti Ngurah Pegametan, sama-sama berada di Gelgel.
Tidak diceritakan lagi, setibanya kembali I Gusti Ngurah Tianyar, beserta saudaranya, dijumpai orang-orang di pun, semua menyongsong I Gusti Ngurah Tianyar, memberitahukan tentang wafatnya Arya Gajah Para. Kaget dan terhenyak hati yang baru tiba, berpikir-pikir tentang wafatnya, segera datang I Gusti Ngurah Kaleran, diberitahukan ada pesan beliau (Arya Gajah Para), bahwa disuruh untuk membuatkan panggung  jasad beliau di Puncak Gunung Mangun. Demikian perkataan beliau I Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya. Diam I Gusti Ngurah Tianyar, berpikir-pikir beliau. Tidak disetujui semua ucapan yang disampaikan I Gusti Ngurah Kaler, bersikeras pula I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh semua rakyat untuk membantu bersama-sama mengerjakan bade (tempat usungan mayat) bertumpang sembilan, pancaksahe, taman agung cakranti tatrawangen, beserta segala upakara ngaben seperti lazimnya orang-orang berwibawa bernama Anyawa Wedhana, harapan beliau agar segera  jasad leluhur dikremasi. Karena hari baik sudah dekat, itu sebabnya masyarakat itu beserta tamu semua segera membantu bekerja baik laki maupun perempuan, membuat upakara ngaben (Pitra Yadnya).

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 17.  Terima kasih.

Hal Pemanes Karang


Segala yang disebut Pamanes Pekarangan, seperti: Kemasukan gelap, dan terbakar, patut membangun palinggih berupa Padma rendah, sthana Sang Hyang Indra Blaka. Apabila tidak membangun sthana untuk Sang Hyang Indra Blaka, tidak putus-putusnya menemukan sakit bermacam-macam, walaupun hingga sepuluh kali telah macaru, tak akan bisa selesai oleh caru itu, karena Beliau Sang Hyang Indra telah berubah menjadi Sang Hyang Indra Blaka, menjadi Kala Maya, menjadi Kala Desti, demikian dinyatakan.

Caru Ngamatiang Semer
Pangelemnya:
Daksina 1, mwah nasi wong-wongan ireng iwaknya kakul, Perasnya matumpeng ireng, iwaknya pencok kacang, ay am ireng pinanggang, mwangjijih makaput antuk tapis, kawangen 7, dadi pangelem, maduluran nasi salah warna limang warna, iwaknya saka wenang, alednya klakat sudamala.
Maksudnya :
Caru mematikan/menimbun sumur: Banten untuk upacara menimbunnya terdiri dari: sebuah Daksina dan nasi wong-wongan hitam ulam kakul/sipvit, Banten Perasnya memakai tumpeng hitam ulamnya pencok kacang, seekor ayam berbulu hitam dipanggang dan/ytfi/biji padi dibungkus dengan tapis, 1 buahkawangen, dijadikan saranapenimbunan yang akan ditanampada
sumur, ditambahi nasi sasah salah warna 5 warna, ulamnya apa saja boleh, alasnya memakai klakat sudamala.
Mantram :
Om Nini Pamali Wates, Kaki Pamali Wates, tan hana jurang pangkung, Aku Ibu Pretiwi, anglebur sakalwiring hala. Om Sudha sih, Kala sih, Dewa Teka purna Om Sa Ba Ta A1, Sang, Patang.

Karang Panes
"Sakalwiring pamanes pakarangan, Iwirnya : Kapanjingan gelap, mwang puwun, wenang ngadegang palinggih Padma andap, palinggih Sang Hyang Indra Blaka. Yan tan adegang palinggih Sang Hyang Indra Blaka, tan pegat amanggih lara rogha, wiyadin ping dasa carunin, tan sidha purna saking caru ika, apan Sang Hyang Indra dadi Sang Hyang Indra Blaka, dadi Kala Maya, dadi Kala Desti, mangkana kojarannya.
Maksudnya:
Segala yang disebut Pamanes Pekarangan, seperti: Kemasukan gelap, dan terbakar, patut membangun palinggih berupa Padma rendah, sthana Sang Hyang Indra Blaka. Apabila tidak membangun sthana untuk Sang Hyang Indra Blaka, tidak putus-putusnya menemukan sakitbermacam-macam, walaupun hingga sepuluh kali telah macaru, tak akan bisa selesai oleh caru itu, karena Beliau Sang Hyang Indra telah berubah menjadi Sang Hyang Indra Blaka, menjadi Kala Maya, menjadi Kala Desti, demikian dinyatakan.
"Muwahyan hana karang tumbak rurung, tumbakjalan, tumbak tukad, manamping marga, pempatan, namping Pura, namping Bale Banjar, makadinya ngulonin Bale Banjar, panes karang ika".
Maksudnya:
Dan apabila ada pekarangan berpapasan dengan gang atau jalan kecil, jalan, berpapasan dengan sungai, bersebelahan dengan jalan, perempatan jalan, bersebelahan dengan Pura, bersebelahan dengan Bale Banjar, seperti di hulu Bale Banjar, panas pekarangan itu.
"Muwahyan hana bumi sayongan, katiban kuwug-kuwug, panes burnt ika. Yaning pakarangannya metu kukus, panes karang ika. Maksudnya:
Dan apabila ada sayongan pada pekarangan disertai dengan suara gemuruh dari langit ciri panas bumi itu. Apabila pada pekarangan muncul kukus, ciri panas pekarangan itu.
Yan hana sanggah pungkat, mwang jineng, pawon pungkat, tan pakarana, mwang katiben amuk, kalebon amuk, panca bhaya, ngaran, panes karang ika.
Muwah pungkatne tan pakarana, tan wit ginawe pungkat, kewala pungkat, ya tan wenang ingangge lakarnya, wenang pantesin lakare sami."
Maksudnya:
Apabila ada Sanggah roboh, danjineng/tempai menyimpan padi, dapur roboh tanpa penyebab, dan kedatangan orang berkelahi, terlaksana sebagai tempat perkelahian, Panca Bhaya, disebutkan panas pekarangan itu.

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 16.  Terima kasih.

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More