Minggu, 21 Agustus 2011

Dharmayatra Ashram Sari Taman Beji Ngubeng di Banyuwangi, Jatim, "Ashram Sari Taman Beji Diamankan Patwal Polres Pasuruan"

Rombongan berangkat 25 Juni 2011 pukul 07.00 Wita dengan peserta berjumlah 150 orang terbagi menjadi tiga bus, mula pertama berkumpul di Lapangan Kompyang Sudjana dua bus dan di Renon satu bus  serta ada juga yang naik dalam perjalanan mengingat peserta berasal dari seluruh Bali. Seperti biasanya sesampainya di Pura Rambut Siwi rombongan tak lupa menghaturkan sembah bhakti sebagai awal perjalanan untuk mendapatkan anugrah-Nya agar senantiasa mamargi antar labda karya sidaning don (berjalan lancar).

Reporter : Andiawan



Semua peserta tak terkecuali tiga orang sulinggih di antaranya Ida Pandita Mpu Sidyana Samyoga dari Griya Agung Cemagi, Ida Pandita Mpu Wiswarupa Bhiru Dhaksa dari Griya Agung Adika Sari dan Ida Pandita Mpu Wija Karma Niyasa Griya Puser Tegalwangi Jagapati dengan kusuknya menghaturkan sembah memohon anugrah keselamatan, kerahajengan dan kerahayuan selama melaksanakan dharmayatra.
Selanjutnya rombongan menuju Pelabuhan Gilimanuk dan menyebrang menuju Pelabuhan Ketapang dan tiba pukul 11.00 Wita. Setibanya di Pasuruan, tepatnya di pertigaan Grati menuju  Sendang Banyubiru, rombongan telah ditunggu oleh Unit Satlantas Patwal  Polres Pasuruan yang dikomandoi oleh  Iptu I Gde Suka Ana yang juga menjabat sebagai Ketua Parisadha Hindu Dharma Pasuruan. Kemudian rombongan dikawal bersama umat Hindu Pasuruan sampai ke tujuan (Sendang Banyubiru). Sementara, di Sendang Banyubiru, rombongan telah ditunggu sejumlah tetua desa serta Kadis Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak Agung Maryono bersama staf, serta petugas Mantri Hutan beserta jajarannya. Beberapa petugas (polisi) berpakaian preman pun tampak mondar-mandir menjaga keamanan.
Rombongan tiba sekitar pukul 17.00 Wita. Sejumlah awak media baik cetak maupun elektronik meminta konfirmasi atas kunjungan dimaksud. Terlihat  ketua rombongan Pinandita Pasek Swastika memberikan suatu pemaparan tentang maksud dan  tujuan pelaksanaan dharmayatra sekaligus prosesi Ruwatan Pabayuhan di tempat yang terlihat cukup angker itu.
Sejumlah pohon kayu besar yang tumbuh subur, tinggi dan berdaun rindang itu turut menambah keangkeran tempat itu. Sementara, pohon Beringin yang berada di tempat itu, diyakini oleh warga setempat ditunggu makhluk gaib berupa Gamang. Menurut Pinandita Pasek Swastika, pohon Beringin dimaksud adalah Wringin Sungsang, yang mana tepat di bawahnya terdapat kelebutan (sumber air) yang merupakan sumber amretha (kehidupan). Air mengalir menjadi anak sungai dan selanjutnya menyatu dengan sungai yang mengalir pada bagian hilirnya yang kemudian menjadi sumber pengairan beribu hektar sawah.
Setelah ngaturang Pakeling (matur piuning) pada masing-masing situs  di antaranya, di Hulu Sendang yang merupakan tempat disimpannya beragam Arca yang ditemukan di sekitar sendang tua itu seperti Ganesa, seorang pertapa, siwa, pandito, hewan,  dan lainnya, serta di Situs lainnya yakni pada Patung/Arca Kala dan di Situs Wringin Sungsang, sebatang pohon beringin yang tidak jelas terlihat ujung pangkalnya.
Di samping itu, rombongan tak lupa ngaturang pakeling di pohon randu hutan kembar yang diyakini sebagai tempat memohon penyatuan sebagai wujud cinta kasih. Atas arahan ketua rombongan, Ida Pandita Mpu Sidyana Samyoga melaksanakan pemujaan memohon Air Suci untuk Jejaton Rwatan Bebayuhan.
Begitu Ida Pandita Mpu nguncarang mantra-mantra suci dengan kusuknya, aura magis terasa sangat kuat, dan bahkan sejumlah peserta rombongan mengaku merasakan getaran aneh yang begitu kuatnya menghantam tubuhnya. Tak hanya itu, wringin sungsang (pohon Beringin-red), daunnya seketika terhempas ke sana ke mari bergelayutan diterpa angin seraya mengeluarkan suara riuh, menambah semakin kuatnya aura magis di tempat itu.
Setelah Air Suci Jaton Bebayuhan siap, prosesi Bebayuhan pun dimulai langsung oleh ketua rombongan kepada peserta yang menyertakan anak dan mantu dengan jalan membasuhkan air suci oleh si anak – mantu kepada orangtua dan mertua tepatnya di kaki. Selanjutnya orangtua-mertua membasuhkan air suci di bagian muka anak-mantu. Demikian juga bagi pasangan suami-istri, di mana, si istri membasuhkan air suci pada kaki suami dan si suami membasuhkan air suci ke muka istri.

Mabayuh Diwarnai Kegaiban

Setelah prosessi bebayuhan selesai masing-masing peserta tak terkecuali Ida Pandita Mpu menceburkan diri ke dalam kolam yang  ada  ikan ajaib dan berenang bersama-sama. Anehnya, ikan-ikan itu tak terlihat ketakutan, dan justru berbaur dengan peserta rombongan dan bahkan dengan lincah dan kegirangan meliak-liuk dengan riangnya. Sejumlah peserta rombongan bahkan tampak hingga menitikkan air mata atas anugrah yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
Setelah semuanya dianggap cukup, peserta kembali naik ke daratan untuk berganti pakaian lanjut melaksanakan muspa bersama dengan diawali pelaksanaan pembersihan areal sekaligus natab dengan biakala dan prayascita, pembagian benang tridatu dan karawista-kalpika yang telah dipasupati serta diakhiri muspa bersama dan pemberian tirta. Saat meditasi, salah seorang Jro Dasaran kerawuhan sambil memanggil-manggil Jan Banggul yang tiada lain tertuju kepada ketua Rombongan Pinandita Pasek Swastika serta berpesan kepada semua umat yang ada di Sendang Banyubiru, untuk senantiasa memelihara dan menjaga kesucian sumber Amretha itu.
Pun berpesan, untuk senantiasa meningkatkan srada bakti serta keyakinan terhadap Ida Hyang Widhi Wasa dan Leluhur Kawitan, sehingga akan terhindar dari berbagai bencana yang kerap kali terjadi di dunia ini demikian sebalinya.
Awalnya, ketua rombongan kurang yakin dan percaya akan kerawuhan itu, dengan teknik tersendiri, Pinandita Pasek Swastika tampak mencekal pergelangan tangan dan selanjutnya menjepit  tangan khususnya di antara ibu jari dan telunjuk Jro Dasaran. Ternyata Jro Dasaran tak merasakan sakit sedikit pun dan bahkan beliau terus ngoceh mengingatkan umat agar selalu Eling pada Jati Diri’ sebagai Umat Hindu. Selanjutnya, setelah Pinandita Pasek Swastika menepuk tanah tiga kali dengan menggunakan tangan kiri, Jro Dasaran pun terlihat lemas dan linglung.
Setelah hari menjelang malam, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Mojosari dengan melintasi jalan menuju Warung Dowo yang juga dikawal langsung oleh Kanit Lantas Pasuruan beserta jajarannya, hingga di Watu Kosek tepatnya di Desa Ngoro. Setelah  berjalan sejauh dua kilo meter, rombongan kembali disambut umat Sumber Tanggul Mojosari Mojokerto bersama Romo Katiran selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Mojokerto. Kurang lebih pukul 21.00 Wita, rombongan tiba di Pura Sasana Bina Yoga Sumber Tanggul yang diempon oleh 24 KK umat Hindu se-Mojosari Kabupaten Mojokerto. Setelah melakukan ramah tamah, acara dilanjutkan muspa bersama dan kemudian menggelar Dharma Wacana oleh Pinandita Pasek Swastika perihal Bhakti pada Ida Hyang Widhi Wasa dan Bhatara Kawitan. Tampak semua yang hadir begitu antusias mengikuti dan mendengarkannya.
Mereka (umat Hindu setempat-red) mengaku bahagia dan bangga menjadi umat Hindu walau dalam keadaan serba kekurangan serta merasa sangat senang dikunjungi umat Hindu dari sejumlah daerah di Bali. Hal itu disampaikan Ketua Parisada Hindu Dharma Mojokerto, Romo Katiran. Dalam kesempatan itu sebagai bukti kepedulian terhadap umat setempat, terlebih pura yang ada dalam proses pembangunan, Ketua Rombongan mengajak untuk medana puniakan rejeki sesuai dengan keikhlasan. Sekadar diketahui, pura yang semula hanya seluas dua are, dengan kerja keras dan tekad yang kuat, kini umat Hindu setempat berhasil membebaskan lahan di sebelahnya, hingga luas pura menjadi 20 are.
Persembahyangan diakhiri dengan menghaturkan punia  dari peserta berupa uang tunai  sebanyak satu juta seratus ribu serta  punia berupa lukisan Acintya dan Ganesa dari Ida Pandita Mpu Nabe Sidyana Samyoga dari Griya Agung Cemagi. Sebagian peserta menginap di di rumah penduduk dan sebagian lagi memilih………***  Bersambung 





0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More