Minggu, 21 Agustus 2011

Pura Padharman Sukangeneb Sirearya Gajah Para, Tejakula, Buleleng, "Swamba sebagai Dasar Palinggih Gedong"

Meski dengan kondisi ekonomi pas-pasan, pretisentana yang awalnya berjumlah 5 dadia ini pantang menyerah, dengan modal tekad, kemurnian, ketulusan, dan semangat serta keyakinan yang tinggi berusaha sekuat tenaga dan dengan kemampuan yang ada mewujudkan Pura Pedarman ini yang kini memiliki pangempon tetap berjumlah 13 dadia tersebar di seluruh Bali.

Rporter & Foto : Andiawan



Begitu menginjakkan kaki di Jeroan Pura, tampak sejumlah palinggih dan bangunan pendukung lain tertata rapi. Di Jeroan Pura, pamedek dapat melihat sejumlah palinggih hasil karya tangan-tangan terampil dan berjiwa seni tinggi, ditambah sarana yang digunakan, hasil dari penggabungan batu merah alami dengan batu sungai dengan ukuran yang telah disesuaikan, sehingga mampu menghasilkan karya seni bernilai tinggi serta terlihat indah, sakral, dan menjadi daya tarik tersendiri.
Sementara, di salah satu pojok tampak ruang kosong yang belum tertata, akibat minimnya dana yang dimiliki. Sehingga, pembangunan atau penataan Pura Pedarman dengan luas kurang lebih 15 are ini, tidak bisa dilakukan sekaligus, melainkan bertahap.
Panglisir Pura, I Wayan Lasem mengaku akan berusaha menata pura ini, sehingga kelihatan semakin rapi dan anggun dipandang, serta pamedek betah berada di pura. Pun, kata pria ramah ini, para pretisentana beliau dapat lebih khusuk ngaturang sembah bakti ke hadapan beliau.
Sementara, Jro Mangku Gede Parwata berusaha menjelaskan keberadaan palinggih di Pedarman ini. Dimulai dari Utama Mandala, terdiri dari: Meru Tumpang Sia (Sembilan), Pajenengan, Palinggih Tri Sakti (Kamulan), Palinggih Panca Rsi, Palinggih Anta Boga, Palinggih Ratu Hyang Lurah Sakti, Gedong Catu, Lima Sari,  Palinggih Sakeluang, Pasimpangan Pura Pulaki, Taksu, Bale Pelik/Bale Pasamuan, Bale Pawedan, Pohon Bunga Kembang Sepatu penuh misteri.
Sedangkan di Madya Mandala terdiri dari : Bale kulkul, Bale Pasandekan, Bale Gong dan  dua Palinggih Pengapit Lawang. Di Nista Mandala terdiri dari dua Palinggih Pangapit Lawang, Palinggih Pangayatan Ratu Gede Dasar, dan sebuah bangunan berupa Pewaregan/dapur.
Lebih jauh Wayan Lasem menjelaskan, tentang alasan kenapa pura ini berada di Banjar Dinas Ngis, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula. Karena, pada zaman dahulu Desa Tembok adalah bagian dari wilayah Toya Anyar. Bahkan, konon kekuasaan beliau sampai di wilayah Pura Ponjok Batu, Buleleng, sekarang ini.
Setelah dilakukan penataan tata ruang wilayah oleh pemerintah, akhirnya Desa Tembok masuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dengan demikian, secara otomatis Pura Pedarman ini berada di wilayah Kabupaten Buleleng, dan terpisah dengan Toya Anyar yang kemudian lama kelamaan berubah nama menjadi Tianyar hingga saat ini.
Meski demikian, keberadaan pura tidak mungkin dipindahkan, mengingat sesuai dengan babad yang ada, bahwa bukti sejarah riil/nyata yang menguatkan keyakinan akan kebenaran keberadaan Pura Pedarman ini adalah diapit dua tukad (sungai-red) yakni Tukad Gelar dan Tukad Luwah.
“Apabila lokasi pura ini dipindah, sudah tentu tidak sesuai dengan babad yang ada serta tidak ada bukti sejarah yang menguatkan keberadaan pura ini. Karenanya, pura ini tetap berada di wilayah Kabupaten Buleleng,” jelas Nyoman Lasem menegaskan.  
Lebih jauh suami Ni Luh Catra ini berusaha menceritakan sejarah singkat awal berdirinya Pura Padarman ini. Diceritakan,  Sirearya Gajah Para datang ke Bali pada tahun 1270 menuju Toya Anyar menjalankan titah (diperintah) sekaligus tugas dari Maha Patih Gajah Mada, langsung menghadap raja Dalem Klungkung yang diikuti tiga orang Wisia, di antaranya Tan Kaur, Tan Mundur, dan Tan Kobar.
Oleh raja Dalem Klungkung Arya Gajah Para diberi tugas untuk menaklukkan Bali Aga dengan batas wilayah kerja, di sebelah utara adalah Desa Got, di timur Desa Basang Alas/Garbawana, di barat Ponjok Sela beristana di Toya Anyar dan beliau dikaruniai empat orang putra yakni I Gusti Ayu Raras, I Gusti Ngurah Sukangeneb, I Gusti Ngurah Toya Anyar/Abhiseka Sirearya Gajah Para II, serta I Gusti Ayu Tirta.
Kemudian, lanjut Pria kelahiran tahun 1934 ini, Sirearya Gajah Para II berputra tiga orang di antaranya; I Gusti Ngurah Toya Anyar/Abhiseka Sirearya Gajah Para III, I Gusti Nengah Kaler, dan I Gusti Ayu Toya Anyar, karabi (dipersunting-red) oleh Pedanda Sakti Manuaba.

Darah Memerah di Tukad Luwah

Berselang beberapa tahun kemudian, Sirearya Gajah Para pun wafat. Namun, sebelum wafat beliau berpesan kepada cucunya yang bernama I Gusti Ngurah Kaler. Isi pesan itu adalah “Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti aku  meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di pucak Gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari),  dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh serta tari-tarian, karena ibuku dulu adalah seorang bidadari”.  Demikian pesan beliau Arya Gajah Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaleran.

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid edisi 12.  Terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More