Meski sudah sempat diajak dialog oleh Gubernur Made Mangku Pastika, Minggu (13/2), para bupati/walikota se-Bali tetap belum sreg untuk melaksanakan Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi.
Bahkan, para bupati/walikota sempat bertemu khusus di Gianyar, Selasa (15/2). Dari situ, mereka sepakat minta dipertemukan lagi dengan gubernur. Para bupati/walikota se-Bali bertemu khusus di sebuah rumah makan kawasan Banjar Teges, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar. Hampir semua kepala daerah hadir, kecuali Bupati Buleleng Putu Bagiada dan Plt Bupati Jembrana IGN Sunendra (saat itu). Bukan hanya kepala daerah, para Asisten Setda berikut Ketua Bappeda Kabupaten/Kota se-Bali dan pejabat terkait lainnya juga ikut hadir dalam pertemuan di Peliatan.
Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup siang itu, para bupati/walikota awalnya membahas persiapan Lomba Adipura 2011. Namun, pembahasan berkembang ke masalah Perda RTRW Provinsi Bali yang sedang jadi polemik. Seusai pertemuan itu, Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace menyatakan, kegiatan di Peliatan sebetulnya hanya pertemuan rutin bulanan para bupati/walikota se-Bali. “Materinya, antara lain, membahas persiapan Adipura sampai pelantikan Bupati Jembrana Rabu. Sedangkan materi sangat khusus adalah soal RTRW,” jelas Cok Ace.
Cok Ace memaparkan, ada sejumlah kesepakatan penting terkait Perda RTRW yang diambil dalam pertemuan para bupati/walikota kemarin. Intinya, sikap para bupati/walikota yang tidak berniat melawan bhisama yang dikeluarkan para sulinggih soal tata ruang. Mereka sepakat bahwa bhisama paruman sulinggih harus dihormati.
Karena itu, lanjut Cok Ace, para bupati/walikota menyatakan perlu ada penyamaan persepsi antara bhisama sulinggih dengan kondisi nyata di lapangan. Dia menyebutkan, persepsi yang perlu disamakan itu, antara lain, soal ukuran metrik tentang radius pura, sehingga kesucian pura tetap terjaga. Namun, kepentingan masyarakat lebih luas juga harus bisa berjalan sebagaiman mestinya.
Guna mempertegas semua, kata Cok Ace, para bupati/walikota sepakat untuk melayangkan surat kepada Gubernur Mangku Pastika. “Isinya, para bupati/walikota minta untuk bertatap muka lagi dengan gubernur, agendanya khusus membahas tafsir tentang RTRW,” tandas bupati dari Puri Agung Ubud ini.
Soal kapan waktu tatap muka itu, menurut Cok Ace, terserah gubernur. Yang jelas, permintaan lanjutan dengan gubernur ini dianggap penting, karena dalam dialog sebelumnya di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur Bali , Nitimandala Denpasar, 13 Februari 2011 lalu, tidak menelorkan hasil apa pun. Pasalnya, dialog kala itu lebih bersifat menyerap aspirasi dan menampung keluhan para pihak.
Dikatakan Cok Ace, dalam pertemuan khusus dengan gubernur nanti, diharapkan bisa membahas lebih detail tentang kelanjutan Perda RTRW. Para bupati/walikota sendiri menyambut baik langkah Badan Legislasi (Baleg) DPRD Bali mendatangi kabupaten, beberapa waktu lalu, untuk menggali aspirasi tentang penerapan Perda RTRW itu. “Langkah yang sama juga perlu dilakukan gubernur,” katanya.
Sementara itu, Baled DPRD Bali bakal membentuk panitis khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti hasil dialog para bupati/walikota se-Bali dengan gubernur tentang RTRW, di Gedung Wiswa Sabha Utama lalu, yang melibatkan semua komponen masyarakat tersebut. Menurut Ketua Baleg DPRD Bali, I Made Sudana, dari dialog di Gedung Wiswa Sabha tempo hari, sebetulnya sudah ada satu titik terang untuk solusi pro-kontra Perda RTRW.
“Baleg sendiri yang akan mengolah dan menganalisa hasil penyerapan aspirasi saat turun ke daerah-daerah dan hasil dialog di gedung Wiswa Sabha. Saya sudah melihat dalam dialog tersebut ada titik terang. Jadi, kami akan segera bahas di Baleg, tentunya dengan menyamakan hasil penyerapan aspirasi ke daerah-daerah,” tandas Sudana kepada di Denpasar, Selasa.
Sudana menegaskan, dalam dialog para bupati/walikota dan gubernur di Gedung Wiswa Sabha lalu, akademisi Unud Prof Dr Gusti Ngurah Wairocana telah menyampaikan bahwa Perda RTRW ibarat maju kena, mundur kena. Sehingga, untuk hal-hal tertentu seperti radius kesucian, sempadan pantai, dan tinggi bangunan perlu dibuatkan aturan khusus. “Wairocana adalah senior dan dosen saya. Dan, saya sudah konsultasi dengan beliau. Apakah nanti akan dibuat peraturan gubernur (Pergub) dan diatur khusus, itu tentunya kita akan bahas di internal (Dewan),” tegas politisi PDIP asal Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan ini.
Sudanya menyebutkan, dalam pasal 150 Perda RTRW diatur soal ketentuan ganti rugi bangunan yang terkena eksekusi. Nah, ini akan dikupas lagi, karena pasal 150 inilah yang paling krusial dan selama ini jadi perdebatan panjang. “Bagi kami, apa yang sudah ditempuh gubernur dengan mengumpulkan para bupati/walikota, sulinggih, semua tokoh, dan lembaga terkait sudah sangat bagus, karena dari situ muncul titik terang, apa sebenarnya jadi pokok persoalan,” kata Sudana.
Sementara, Wakil Komisi Ketua Komisi II DPRD Bali, Wayan Disel Astawa, mengingatkan pasal 150 dan pasal-pasal krusial Perda RTRW lainnya yang jadi sumber perdebatan, sebaiknya dikonsultasikan ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Setelah itu, barulah diputuskan solusinya, apakah revisi atau diatur khusus dengan peraturan dalam pelaksanaan Perda RTRW. Pemkab/Pemkot se-Bali tetap harus diajak duduk bersama. “Pertemuan di Gedung Wiswa Sabha Utama kemarin sudah menunjukkan pemikiran mencari yang terbaik, tidak malah saling serang melalui media seperti terjadi selama ini. Dengan cara seperti itu, akan ada titik temu, dengan kepala dingin,” tegas politisi PDIP asal Desa Unggasan, Kecamatan Kuta Selatan, Badung ini.
Di sisi lain, Pemprov Bali melalui Kabag Publikasi dan Dokumentasi I Ketut Teneng menegaskan, apa yang sudah muncul dalam pertemuan para bupati/walikota dengan gubernur di Gedung Wiswa Sabha Utama, tentunya tidak bisa langsung dibuat keputusan begitu saja. Eksekutif tidak bisa langsung memutuskan dalam waktu singkat. “Semuanya perlu ditelaah, karena ini menyangkut peraturan daerah yang tidak bisa diputuskan dengan tergesa-gesa. Harus ada kajian menyeluruh. Sesuai dengan penyampaian Pak Gubernur, kita tidak memutuskan, karena pertemuan kala itu sifatnya menghimpun aspirasi. Nanti akan ada pembahasan lanjutan,” ujar Ketut Teneng. Dalam dialog di Gedung Wiswa Sabha Utama sebelumnya, Gubernur Pastika memberikan ruang kepada masing-masing pihak memberikan pendapat. Namun, dari dialog itu, muncul angin segar menuju titik temu tanpa harus ada yang merasa dirugikan maupun merasa dimenangkan terakit RTRW.
Prof Dr I Gusti Ngurah Wairocana, misalnya, menyatakan Perda RTRW bisa diterapkan dengan mengakomodasi semua kepentingan. Dalam pelaksanaannya, Perda RTRW hanya mengatur kondisi di lapangan, tanpa harus merevisinya. “Ini kan bisa diatur khusus dengan Pergub. Menentukan zona ini melibatkan kabupaten dan kota , sehingga bisa meminimalkan konflik. Jadi, tak perlu ada revisi Perda RTRW, cukup dibuatkan Pergub,” tandas Wairocana.
Sementara, pihak Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali dan PHDI sepakat menyebut bhiasama merupakan harga mati, namun tidak harus ada pembongkaran paksa bangunan-bangunan yang melanggar Perda RTRW sebagaimana dikhawatirkan para bupati.*** Sta,tim.
0 komentar:
Posting Komentar