Tukad Ijogading sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jembrana khususnya. Sungai ini membelah jantung Kota Negara, ibu kota kabupaten Jembrana, menjadi dua bagian yaitu belahan kota barat dan belahan timur sungai Ijo Gading. Bagaimana asal mula tukad yang pada tahun 2008 lalu sempat mengalami kerusakan pada senderan karena diterpa banjir bandang? Berikut liputannya.
Reporter & Foto : IA. Made Sadnyari
“Rusak susu sebelanga karena nila setitik”, demikian kiranya pribahasa yang pantas dilontarkan atas peristiwa yang terjadi, kurang lebih pada tahun 1966 silam. Bukan “Panas setahun dihapus oleh hujan sehari”, pasalnya dalam waktu singkat, Negeri Berambang dan puri yang sangat besar, menjadi ludes hanyud terbawa arus karena kesalahan yang diperbuat rakyat atas perintah raja.
Sekali hal itu terjadi, musnahlah sekalian rakyat negeri Brambang disapu air bah sewaktu Raja akan melangsungkan upacara adat ngeluer, semacam upacara pembakaran mayat tetapi upacaranya lebih besar.
Air bah itu tidak lain ada karena munculnya Tukad Ijo Gading. Berdasarkan penuturan Jro Mangku I Ketut Wenun, pemangku Pura Luhur Berambang Agung, asal mula terjadinya Tukad Ijo Gading bersumber dari cerita rakyat yang turun-temurun.
Ketika itu kurang lebih tahun 1966, masa Pemerintahan I Gusti Ngurah Putu Tapa di Puri Berambang. Beliau bermaksud menyelenggarakan upacara ngeluer. Oleh karena upacara kerajaan makin mendekat, maka raja memerintahkan semua rakyat, baik tua maupun muda untuk pergi berburu ke hutan guna mencari binatang-binatang yang diperuntukkan sebagai bahan ngeluer (Pitra Yadnya).
Dalam rombongan berburu tersebut, ada seorang anak kecil bermata buta bernama Ijo Gading. Walaupun dihalang-halangi tidak boleh ikut berburu, namun dia mengikuti rakyat pergi. Diceritakan perjalanan panjang dan melelahkan telah dilalui seluruh rakyat. Ijogading dengan kondisi matanya yang buta tentu tidak dapat melangkah layaknya orang normal.
Di tengah-tengah hutan ia ketinggalan orang banyak dan kesasar mencari jalan, tetapi sia-sia karena buta dan beberapa hari menangis kelaparan sendiri di tengah hutan. Pada suatu saat ia mendengar dirinya dipanggil “Hai, Ijogading ikutilah aku dan usaplah mukamu dengan mata air yang kutunjuk, maka kamu akan melihat”.
Meski tidak bisa melihat orang tersebut, dalam kepasrahan hati, Ijogading pun mengikuti kata-kata orang yang memanggilnya itu. Benarlah langkah kakinya membawa ia terperosok pada sebuah mata air, lalu ia meminum karena dahaganya serta mengusap-ngusap matanya. Maka benarlah matanya dapat melihat isi dunia ini dan terasa sangat asing baginya.
Apalagi ketika matanya tertuju pada seekor ular besar bernama Naga Tapa yang telah memberinya petunjuk sehingga bisa melihat. Ijogading sama sekali tidak mengetahui mengenai ular tersebut, baru pertama kali melihat dunia, menyaksikan sesuatu dengan sisiknya berkilauan bagaikan mas ratna, lalu ia lari ketakutan. Kebetulan tidak lama berselang, Ijogading berjumpa dengan serombongan pemburu yang diajaknya ke hutan. Para pemburu dapat mengenali Ijogading dan menanyakan hal ihwal mengapa ia tiba-tiba dapat melihat.
Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid ini. Terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar