Pertemuan untuk membahas radius kesucian pura di wantilan Jaya Sabha hasilnya bukannya memuaskan. Namun, keinginan untuk mufakat tidak terjadi dengan adanya kengototan dan keluh kesah dari berbagai kalangan akibat ketidakhadiran sejumlah Bupati dan Walikota. Bahkan salah satu sulinggih dari PHDI mengaku pernah diperlakukan tidak manusiawi terkait pembahasan rancangan RTRW
Alotnya masalah perda Rencana tata Ruang Wilayah (RTWR) Bali, terkait radius kesucian terus berpolemik. Hingga pada akhirnya Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengundang seluruh Bupati dan Walikota se-Bali ke Wantilan Jayasabha, Denpasar pada Sabtu (22/1). Namun, rupa-rupanya pertemuan ini bisa dikatakan tidak mendapatkan hasil yang memuaskan mengingat dari sembilan (9) bupati walikota se-Bali hanya Bangli dan Karangasem saja dihadiri oleh Bupati.
Hal ini membuat Gubernur Bali, Made Mangku Pastika tampak kesal. Ia mengaku heran dengan kondisi ini, di mana kata dia, semestinya jika gubernur yang mengudang sudah pasti ada yang penting untuk daerah masing-masing. Bukan malah mewakilkan, di mana mereka yang mewakili ini tentu tidak bisa berbuat banyak apalagi membuat sebuah keputusan penting. “Di sini (pemprov) katanya Bupati menolak RTRW tapi malah tidak datang, apalagi Badung, yang paling gencar melakukan penolakan, kenapa mewakilkan,” sebut Mangku Pastika kesal.
Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh Ketua tim penegak Bhisama kawasan Suci Bali (TPBKSB) Ketut Wiana, Ketua Sabha Panditha PHDI Pusat Ida Pedanda Sebali Tianyar, Bupati Bangli Made Gianyar, Bupati Karangasem Wayan Geredeg, Penjabat Bupati Jembrana IGN Sunendra dan sisanya mewakilkan. Hadir pula anggota DPRD Bali I Made Arjaya, Ketua Komisi I dan sejumlah tamu undangan lain dan beberapa akademisi lain pun turut hadir.
Dalam pertemuan ini, Bupati Bangli I Made Gianyar menginginkan untuk mengubah Perda RTRW, utamanya terkait kawasan suci. “Jika mengatur untuk ke depannya dia sangat setuju sekali, namun dilihat kebelakangnya nantinya akan sulit,” sebutnya. Ia mencontohkan, Pura Sad Kahyangan Batur, Kintamani dengan radius kesucian pura 5 km, itu berarti radiusnya sampai Penelokan dan kawasan pedesaan lainnya. Ia menyebutkan nasi sudah menjadi bubur dan sulit untuk menjadi nasi kembali, dan sebaiknya membuat nasi baru (maksudnya bhisama baru).
Sementara Bupati Geredeg juga mengatakan hal senada. Di mana, di Kabupaten Karangasem sendiri terdapat 18 Pura Dang kahyangan. Baginya penerapan perda RTRW kawasan Suci di Karangasem sangat sulit. “Satu contohnya Pura Silayukti sudah berada di kawasan pemukiman penduduk,” sebutnya. Bahkan Geredeg sendiri mempertanyakan apakah kuburan itu suci? Pertanyaan ini langsung ditanggapi oleh Ketua TPBKSB Ketut Wiana yang menyatakan dengan lantang kuburan alias setra itu adalah suci.
“Di kuburan bisa menyucikan mayat yang sudah meninggal,” sebutnya. Jadi tidak masalah ada kawasan suci namun ada kuburan. Malah, kata dia, mayat jika tidak dikubur itu sangat tidak suci dan bahkan bisa menjadi bhuta kia-kiu. Wiana menyatakan, bhisama kawasan suci bukanlah buatan baru. Namun hal ini sudah dilakukan oleh para Rsi Suci pada ratusan tahun silam. Di mana Pura Besakih Karangasem dibangun lima Km dari Desa Besakih dan Rendang. Pura Uluwatu juga lima km dari Desa Pecatu. Pura Lempunyang juga sama yakni lima Km dari Desa Tista. Dan memang selayaknya dan harus mempertahankan bhisama suci tersebut. Dan tidak dengan alasan-alasan lain bisa mematahkan kekuatan dari Sesuhunan.
Sendangkan Ida Pendanda Tianyar Sebali Arimbawa menyatakan, seluruh jajaran pimpinan di Bali mulai dari gubernur, bupati, walikota, DPRD dan yang lainnya sudah mulai berfikir sekarang untuk Bali di masa datang. Apakah dengan membiarkan membangun di kawasan radius 5 km ini ke depannya akan baik untuk anak cucu? Hal ini menurutnya tentu saja tidak. “Kita berharap Bali lebih bagus lagi ke depannya dibandingkan saat ini,” sebut Ida Pedanda.
Sementara Acarya Yogananda lebih banyak menyodok Badung. “Badung telah mengadu masyarakat untuk kepentingan lain,” tutur Acarya Yogananda yang saat walaka bernama Alit Bagiasna ini. Dia berharap untuk menghentikan ajang adu domba dengan kepentingan investor yang kecil itu. Termasuk juga pada para Sulinggih dengan meminta dukungan pada PHDI yang tidak diakui. “Sulinggih dari PHDI yang legal ini malah kerap diperlakukan tidak baik,” sebut Acarya lantang.
“Saya saja pernah diperlakukan tidak manusiawi, Badung semestinya tetap mengacu pada PHDI yang sah dan agama tidak ada otonominya,” kata Acarya yang pernah duduk di kursi dewan ini.
Anggota DPRD Bali I Made Arjaya pun bersikap sama dalam pembahasan RTRW ini. Dia mengkritik bupati dan walikota yang tidak hadir dalam pertemuan penting ini. “Bagaimana bisa selesai, jika pentolan daerah tidak mau hadir,” kata Dewan asal Sanur ini. * Krista.
0 komentar:
Posting Komentar