Hari Raya Nyepi adalah salah satu haru raya Hindu sebagai upacara perayaan Tahun Baru Saka yang dirayakan oleh umat Hindu di Indonesia secara khusus melalui pelaksanaan Catur Brata Penyepian, yaitu : Amati Agni, Amati Karya, Amati Lalanguan, Amati Lalungan.
Perayaan Nyepi dilaksanakan pada tanggal 1 waisakha, yaitu sehari setelah hari Tilem Sasih Ka Sanga atau pada hari pertama Sasih Ka Dasa, selama 24 jam mulai dari matahari terbit hingga terbit pada keesokan harinya. Hari yang sunyi senyap itu juga disebut “Sipeng”.
Hari Raya Nyepi sebagai hari raya keagamaan untuk umat Hindu di Indonesia, merupakan satu-satunya yang telah ditetapkan oleh Presiden RI melalui surat keputusan Nomer 3 Tahun 1983 sebagai Hari Libur Nasional.
Tahun Saka dirayakan pada Tahun 78 Masehi sebagai tonggak sejarah oleh Raja Kaniska I di India, yang termasyur oleh kebijaksanaan dan kearifan politik serta pelaksanaan pemerintahannya, menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Semenjak itu bangkitlah toleransi antar agama, yang dibuktikan dari raja Kaniska I beragama Hindu memperhatikan kehidupan dan perkembangan agama Budha.
Tahun Baru Saka di Indonesia
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit secara total pada tahun 1928, perkembangan agama Hindu mengalami kemunduran dan seolah-olah tenggelam. Sebagian besar tidak mengenal lagi agama apa yang dianutnya, karena para penjajah Barat telah berdatangan menggantikannya. Sebagian upacara-upacara keagamaan Hindu masih tetap dilakukan, namun mereka kurang mengenalnya dari mana asal upacara-upacara itu, karena diliputi oleh keragu-raguan yang berkepanjangan dan cukup lama. Bagi orang-orang yang tidak mengenal dan tetap melaksanakan secara tradisional yaitu turun temurun dari leluhurnya, menyebut dengan upacara adat.
Tahun Baru Saka di Indonesia, dirayakan pada tanggal 1 bulan Waisakha, dengan “Pati Agni” yang sebelumnya pada Pancadasi Krsnapaksa Chaitra Masa atau Hari Tilem Bulan Chaitra dilaksanakan dengan upacara Bhuta Yadnya yaitu Tawur Agung Ka Sanga setiap setahun sekali. Dengan demikian, perayaan Tahun Baru Saka di Indonesia memakai perhitungan “Luni Solar System”, yaitu perpaduan antara perhitungan Suryapramana dengan Candrapramana.
Kenyataan ini berbeda halnya dengan yang di Bali, walaupun Kerajaan Hindu di Jawa seperti Majapahit telah berdiri tegak. Hampir sejaman dengan Majapahit, pusat kerajaan di Bali berada di Gelgel yang ibukotanya di Swecapura. Perkembangan agama Hindu mencapai puncaknya pada pemerintahan “Dalem Waturenggong” karena Dang Hyang Nirartha diangkat sebagai pendeta istana terkenal dengan sebutan “Padanda Sakti Wawu Rawuh”, melakukan dwijati dua kali. Pertama dalam Budha Paksa bergelar Dang Hyang Nirartha dan kedua dalam Siwa Paksa bergelar Dang Hyang Dwijendra. Peranan Beliau sangat besardan banyak jasanya dalam bidang keagamaan, arsitektur, tata kehidupan masyarakat dan kesusastraan.
Pada zaman penjajahan Belanda, kehidupan beragama berjalan sebagai mana mestinya, karena pemerintah Belanda menitikberatkan pada segi politik dan ekonomi, sehingga raja yang didampingi oleh pendeta istana dapat megatur secara langsung kehidupan keagamaan di Bali. Kemudian setelah jatuhnya Belanda di Bali, pusat pembinaan tidak ada, digantikan oleh Badan Tunggal yang mengordinasinya.
Sejak itu pembinaan agama ditangani oleh Desa Adat dan geria masing-masing, sehingga kehidupan agama menjadi tidak terkoordinasi. Masing-masing pendeta pada Desa Adat menata danmenentukan sendiri-sendiri, sehingga menimbulkan banyak ragam dan cara yang bermunculan. Hal tersebut dapat dicontohkan pada pelaksanaan Nyepi di Bali tidak seragam. Kerajaan Hindu terakhir di Bali adalah Kerajaan Klungkung. Semenjak kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, eksistensi kerajaan Hindu telah hapuss dan para tokoh umat Hindu setelah itu baru mulai berkumpul untuk membicarakan cara penataan kehidupan umat Hindu di Indonesia. Pertemuaan itu disebut “Pasamuhan Agung”, dilaksanakan di aula Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar pada tanggal 21-22 Februari 1959 danmenghasilkan kesepakatan untuk membentuk Parisadha Hindu Dharma. Pertemuan tersebut berkelanjutan, kemudian pada tanggal 17-23 November 1959 diadakan di Campuhan Ubud Gianyar, bernama Dharma Asrama Campuhan Ubud, menetapkan salah satu keputusannya, yaitu Tahun Baru Saka yang disebut Hari Raya Nyepi.
Keputusan Tentang Hari Raya Nyepi
Tentang hari raya Nyepi melalui “Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu”, telah dua kali diadakan, pada seminar pertama tahun 1975 bertempat di Kota Amlapura (Bali bagian timur) dan kedua pada seminar ke XIV tahun 1988 di Kota Denpasar. Adapun hasil keputusannya adalah sebagai berikut :
Nyepi adalah pergantian tahun Saka. Rangkaian Perayaan Nyepi adalah Tawur, Melasti, Amati Gni/Sipeng dan Ngembak Gni.
Tawur adalah penyucian (pamarisudha bhutakala) yang dalam pemujaan dimurtikan, setelah diberi tawur menjadi somya. Ngerupuk adalah lanjutan dari pada pelaksanaan tawur yang dilaksanakan di tiap-tiap pekarangan rumah. Menurut Sundarigama, tawur diadakan pada prawanining Tilem Kasanga. Menurut Swamandala, tawur diadakan pada Tilem Kasanga, tidak membenarkan berlakunya pada Prawani. Selanjutnya swamandala tidak membenarkan melakukan tawur pada waktu cetra masa, apabila kebetulan jatuhnya sesudah wuku Dungulan, sebelum Budha Kliwon Pahang dan kemudian Tawur tersebut dilakukan pada Tilem Kadasa.
Kemudian Widhi Sastra dalam lontar Dewa Tatwa Niti Bhatara Putrajaya, memperkuat Swamandala. Rupanya sesudah Buda Kliwon Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang adalah Somyanya Bhatari Durgha, sebab itu tidak baik melaksanakan tawur, karena tawur adalah untuk Durgha Murti.
“Melasti nganyudang malaning gumi gemet tirtha amertha”. Segara (laut) dianggap sebagai sumber tirtha amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai dan pratima sudah berada di Bale Agung.
Pantangan saat Nyepi adalah Amati gni artinya tidak bberapi-api, Amati Karya tidak bekerja, Amati Lelanguan artinya tidak bepergian, dan Amati Lelanguan artinya tidak melampiaskan indria (berfoya-foya).
Ngembak Geni (ngembak api) miwah ngelabuh brata pada tanggal 2 (kalih) sasih ka dasa (ngedas lemah). Pada saat ngembak geni dilaksanakan dharma santi, berupa saling kunjung dan mengunjungi dalam keluarga dalam upaya menjaga kerukunan dan mengucapkan selamat Tahun Baru. Dharma Santi di lingkungan masyarakat dapat dilakukan dengan dharma wecana, dharma gita (lagu-lagu keagamaan/kidung, kakawin, pembacaan sloka), dharma tula (diskusi), persembahyangan, pentas seni bernafaskan keagamaan, serta memberikan punia kepada yang patut menerimanya.
0 komentar:
Posting Komentar