Senin, 11 April 2011

Langkah-Langkah Kecil Menjadi Orang Baik, Ingat Spiritual Pupuh “Gaguritan Bali”

Derap langkah kehidupan manusia di jagat ini, tak selamanya mampu menjadi orang baik. Semua ini tidak terlepas dari evolusi manusia dan alamnya di mana mereka berada. Tapi, dalam ajaran agama (apapun), langkah menjadi orang baik tidak bisa secara instan, seyogianya dilatih mulai dari langkah-langkah kecil, maupun ringan sesuai tuntunan keyakinan masing-masing. Seperti apa langkah-langkah kecil tersebut?




Penulis : Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa


Umat sedharma yang tercinta, secara jujur harus diakui, dalam hal pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan hidup secara lahiriah, pada zaman sekarang ini memang luar biasa pesatnya. Sejak kecil tidak pernah dibayangkan dunia ini seperti ini. Tetapi bagaimana dengan kehidupan moral dan spiritual saat ini, itulah yang akan dilihat dalam pembicaraan kali ini.
Dalam kasat mata, nampaknya ada pergeseran-pergeseran nilai dan sendi-sendi kehidupan umat manusia dewasa ini. Seperti ada yang hilang dari kepribadian manusia sebagai makhluk paripurna. Banyak kasus menunjukkan dengan memiliki harta yang banyak, nampaknya bisa menjadi salah satu faktor munculnya ego.
Karena merasa sudah kaya, akhirnya menyebabkan munculnya perasaan diri mereka berpengaruh  serta berkuasa atas siapa saja. Setelah merasa berpengaruh dan berkuasa, maka orang-orang lain akan dianggap sebagai anak-anak, bawahan, pembantu, bahkan dianggap budak yang harus tunduk, patuh. Mereka yang telah dikelabui oleh harta benda seperti itu,  tidak mampu lagi melihat pada diri setiap orang ada Jiwa atau Atman yang sehakikat dengan Tuhan yang juga harus dihormati.
Orang-orang tidak lagi mampu menerapkan ajaran Veda : Vasu deva kutumbhakam, semua makhluk bersaudara, orang tidak bisa lagi menerapkan ajaran tattwam asi, aku adalah kamu atau semuanya itu adalah aku. Setiap orang  tidak mampu menerapkan ajaran Manava seva madhava, (melayani manusia sama dengan melayani Tuhan”. Saya melihat dunia manusia saat ini mengalami dilema, di satu sisi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, tetapi sebaliknya sendi-sendi kemanusiaan semakin mundur.
Pengaruh buruk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga pengaruh kekayaan ini harus disadari oleh setiap  orang yang mengaku beragama. Banyak orang sukses mencari harta, tetapi gagal menemukan jati dirinya. Orang sewaktu masih miskin, kepribadiannya sangat bagus, luwes, suka menyapa, ramah-tamah, bajik dan ideal sebagai orang beriman. Tetapi setelah merasa kaya, berpengaruh, serta berkuasa, mulailah ia berjalan tengadah (ngagak bahasa Balinya), tidak mau menyapa terlebih dahulu pada orang lain. Mnyapa lebih dulu dianggap sebagai kewajiban para bawahan, anak-buah atau pembantu. Banyak orang setelah merasa kaya, terhormat, dan berkuasa, menganggap tidak penting berhubungan dengan orang kecil lainnya. Semua prilaku negatif yang disebabkan oleh pengaruh negatif dari kepemilikan harta benda atau kekayaan dan kekuasaan ini perlu diwaspadai.
Umat sedharma, seseorang yang telah diliputi oleh pengaruh buruk materi akan sangat sulit diarahkan ke jalan spiritual. Bahkan banyak orang kaya menganggap hal spiritual dapat dibeli dengan uang. Inilah bahayanga jika orang sudah dibelenggu oleh pengaruh harta. Tidak gampang untuk keluar dari pengaruh materi yang sudah mendarah daging apalagi telah dirasakan sejak usia muda. Setelah usia tua, orang akan jauh lebih sulit dibandingkan dengan melepas belitan ular daripada melepaskan pengaruh buruk dari kesombongan materi. Karena itu, sejak kecil anak-anak kita mesti diingatkan dengan petuah-petuah mulia sebagaimana diajarkan oleh leluhur. 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More