Selasa, 26 April 2011

Mutiara Kebahagiaan, "Kepemimpinan Tidak Serius Beragama"

Sebagai orang Indonesia, semua orang menyatakan diri beragama. Apalagi para pemimpin kita. Presiden Amerika Bill Clinton pernah datang ke Indonesia. Ada orang bertanya kepadantya apa pendapatnya tentang orang-orang Indonesia. Beliau berpendapat bahwa orang-orang Indonesia baik-baik saja, tapi dalam KTPnya hendaknya jangan diisi agama. Ya kita semua tahu kita beragama tapi kita tak pernah mau membaca dan menerapkan kitab suci dengan baik. Agama tidak menjadi kebutuhan primer. Suatu ketika ada orang barat berkata pada teman saya “Kamu bilang dirimu beragama tapi kamu rakus”. Ini diajarkan oleh pengaruh lingkungan kepemimpinan yang buruk yang malah korupsi. Kepemimpinan yang materialistis semenjak kemerdekaan dicapai membuat hidup saling mengkritik yang tak ada ujung pangkalnya. UUD 1945 mengatakan Indonesia merdeka atas rahmat Allah, Tuhan Yang Maha Esa tapi Komunis atau Ateis merajalela. Tahun 1965 Indonesia menumpas Atheis tapi akhirnya berkembang melalui keuangan yang masa kuasa dan orde baru melarang orang belajar Veda atau Hare Krsna. Fenomena ini sangat berbeda dengan orang barat yang sportif, mereka mengatakan “Saya tidak beragama tapi saya percaya Tuhan”.


Pemimpin Spiritual

Pemimpin harus berbasis spiritual. Para pemimpin adalah guru atau contoh di masyarakat. Para pemimpin adalah sangat mempengaruhi gaya dan pola hidup masyarakat. Jadi pemimpin adalah tauladan di masyarakat dalam Bhagavad-gita 3.21 disebutkan :
yad yad acarati sresthas
tad tad evetarojanah
sa yat pramanam kurute
lokas tad anuvartate

Perbuatan apapun yang dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apapun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan diikuti oleh seluruh dunia.

Mengingat sekarang adalah kebangkitan spiritual, ajeg Bali, apalagi Bali diwarisi oleh leluhurnya sebagai pulau seribu pura adalah sangat masuk akal kalau pemimpin harus berbasis spiritual. Kalau pemimpin adalah orang partai politik, kesejahteraan yang dicanangkan hanya sebatas kesejahteraan manusia saja, berbeda dengan orang spiritual yang bertindak untuk keselamatan bukan saja manusia tetapi juga kelestarian binatang dan tumbuh-tumbuhan serta lingkungan alam, suatu keselamatan jiwa atau roh spiritual secara keluarga keseluruhan.



Pemimpin Sejati Berpegang pada Sastra 

Pemimpin yang sejati adalah orang yang bisa memimpin dirinya sendiri, sehingga secara otomatis ia dapat mempimpin masyarakat, karena ia bagian dari masyarakat bukan masyarakat bagian dari dirinya. Orang seperti itu dekat dengan rakyat. Ia adalah alat dari Tuhan Yang Maha Pengasih karena itu kehadirannya selalu mengingatkan orang pada kesempurnaan Tuhan. Dalam Bhagavad-gita suhridam sarva bhutanam, penolong yang mengharap kesejahteraan semua mahluk hidup. Dalam jaman kekinian, kesejahteraan tidak akan nyata kalau pemimpin tidak berpegangan pada ajaran suci Bhagavad-gita dan ajaran Canakya Pandit yaitu Niti Sastra. Tanpa Bhagavad-gita dan Niti Sastra mustahil kesejateraan rakyat tertinggi diraih. Sementara sekarang ini adalah omong kosong, dimana hanya ada segerombolan orang yang mementingkan diri sendiri. Pemimpin yang berpegangan pada sastra pasti dapat memberikan Tuhan, memberikan kedamaian dan kemakmuran pada kita, karena ia melihat bahwa jiwa-jiwa dari Tuhan Krsna sedang menderita. Pemimpin semangat pencinta kebenaran seperti Yudhistira dan Sri Rama sangat jarang turun ke dunia. Ia pemimpin yang nyastra sesuai ungkapannya dan pelaksanaannya. ***

Penulis ; I Nyoman Sridham

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More