Upacara pengabenan yang boleh dikatakan unik, namun penuh makna dilakukan warga (soroh) Sangging Prabhangkara. Tampak juga adanya perbedaan antara lain tidak menyertai tukon, bubur pirata, panjang ilang, ngider di perempatan, termasuk tidak ngayut dengan media air (sungai atau ke segara). Ada apa dengan perbedaan ini?
Reporter & Foto : Putu Patra
Dalam upacara di Bali , yang terkaper dalam Panca Yadnya, sesungguhnya makna dan tujuannya sama. Hanya saja, di masing-masing daerah, kulawarga, pasametonan (soroh), apalagi di tataran desa adat di Bali , menjalankan upacara sesuai dengan desa, kala patra. Di samping juga atas dasar desa mawicara, dresta dan istilah lainnya yang menunjukkan keragaman.
Kalau saja disimak secara bijak, amatlah indah adanya perbedaan tersebut, dengan catatan makna dan filsafatnya mesti difahami. Begitu juga, demi tidak terjadi kerancuan atau kebingungan umat, mesti juga ada standarisasi tanpa mengabaikan keragaman itu sendiri.
Khusus terhadap upacara ngaben yang Bali Aga saksikan, ada beberapa catatan yang terlihat sepertinya ada perbedaan atau keragaman antara soroh yang satu dengan soroh lainnya masih eksis di Bali .
Ketika Bali Aga melayat atas meninggalkan seorang pamangku yang kebetulan dari soroh Sangging Prabhangkara di Mambal, terlihat ada hal-hal khusus yang menunjukkan perbedaan dalam ritual atau sarananya, termasuk prosesinya. Atas pelaksanaan upacara pengabenan atas wafatnya Jro Mangku Sangging I Nyoman Sudarsa asal Banjar Undagi, Mambal, Abiansemal, Badung hal-hal yang khusus yang berbeda sebagai berikut.
Seperti dikatakan Ketua Maha Subaya Sangging Prabhangkara Bali I Ketut Sangging Suhendi, memang benar kalau upacara pitra yadnya bagi warga (soroh) Sangging Prabhangkara ada perbeda-perbedaan tertentu. Perbedaan itu adalah : tidak menggunakan tukon, menggunakan bubur pirata, damar kurung, panjang ilang, pangibes-ibes Begitu juga ketika upacara berlangsung dalam pengusungan bade, secara umum dilakukan mapiteh ping telu di perempatan atau di setra. Hal ini juga tidak dilakukan.
Dikatakan Sangging Suhendi, dasarnya menggunakan sastra yang ada, lalu dikaitkan dengan nilai-nilai filsafat dalam ajaran agama. Begitu juga dalam sarana yang digunakan, soroh atau sameton Sangging Prabhangkara menggunakan patulangan yang berbeda. Perbedaan tersebut adalah, sarana bade atau wadah, dapat dijelaskan perbedaannya. Kalau warga Sangging Prabhangkara masih walaka, pengusungnya wadah (paga), dengan patulangan (tempat kremasi/pembakaran) menggunakan Jaran Gadarbha berwarna merah (barak), kalau setingkat jro mangku, sarana yang digunakan adalah bade padmasari dengan patulangan Jaran Gadarbha Petak (putih).
Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid ini. Terima kasih.
2 komentar:
warga sangging yang terhormat...mohon difahami bahwa petulangan PADMASARI bentuknya tidak memakai tumpang tetapi memakai ULOM dan berapat satu (sesuai dengan Prasasti Sangging Bangli yang menjadi acuan upacara ngaben warga sangging di Bali (Kalau perlu Prasasti tersebut dapat hub.Kelian Sangging Bangli,Br.Kawan Bangli)
warga sangging yang terhormat...mohon difahami bahwa petulangan PADMASARI bentuknya tidak memakai tumpang tetapi memakai ULOM dan berapat satu (sesuai dengan Prasasti Sangging Bangli yang menjadi acuan upacara ngaben warga sangging di Bali (Kalau perlu Prasasti tersebut dapat hub.Kelian Sangging Bangli,Br.Kawan Bangli)
Posting Komentar