Senin, 25 April 2011

Ida Pandita Mpu Shiwa Ananda

Seluk beluk manusia memang disembunyikan oleh karmanya sendiri, dan sudah ada yang mengatur. Bagaimanapun pintarnya manusia dalam melakoni hidupnya, dharma kehidupan tetap dijalani sesuai dengan karmanya. Apakah menjadi buruh, pejabat, ataukah sulinggih. Dan inilah yang terjadi terhadap perjalanan hidup Pandita Mpu Shiwa Ananda. Bagaimana suka dan duka Pandita sejak kecil hingga menjadi sulinggih?   

Reporter & Foto  : Andiawan


 Ida Pandita Mpu Shiwa Ananda (kiri)

Tidak pernah terlintas dan terbayang sedikit pun, di benak Ida Pandita Mpu Shiwa Ananda yang saat walaka bernama lengkap I Gede Kompiang Wiradi ini, untuk menjadi seorang sulinggih. Masa kecilnya berjalan seperti yang dialami anak-anak sebayanya. Hanya saja sifatnya yang keras, dan suka membandel kerap kali menjadi perhatian khusus kedua orangtuanya. Namun, Ida Pandita Mpu Shiwa Ananda senantiasa menunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, senang membantu teman dalam kesulitan, serta sifat-sifat positif lainnya yang ditanamkan kedua orangtuanya.
Sekolah pun dijalani seperti biasanya, dan bahkan tidak pernah ketinggalan. Sampai akhirnya ketika duduk di kelas 3 SMA, ibundanya menderita sakit. Sejumlah dokter dan balian tak mampu menyembuhkan. Pada suatu hari, orangtuanya memutuskan untuk nunasang ke beras jinah (orang pintar-red). Dari sana akhirnya diketahui, salah satu anaknya (Ida Pandita Mpu kecil) sudah kapingit atau kajumput dan harus bersedia ngiring ngayah di Pura Agung Pasek Sumertha. Setelah disanggupi, ibundanya pun sembuh.
Singkat cerita, setamat SMA, sambil bekerja di suatu perusahaan Ida Pandita Mpu Shiwa Ananda pun melanjutkan pendidikan di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas). Awalnya perkuliahan berjalan lancar, tetapi setelah semester tiga mulai muncul berbagai godaan sekala-niskala. Semakin hari godaan kian berat dirasakan, sampai akhirnya begitu akan menginjak semester tujuh, Ida Pandita Mpu tak kuat menghadapi dan memutuskan mengundurkan diri alias berhenti kuliah, serta memilih untuk fokus dalam pekerjaannya.
Ida Pandita Mpu tak pernah memilih-milih pekerjaan, bahkan sempat bekerja di Surabaya, tetapi hanya sebentar. Sekembalinya dari Surabaya, Ida Pandita Mpu bekerja di sebuah Travel sambil membuka usaha sampingan yakni usaha Rencar, usaha perbatikan hingga sempat mempekerjakan 20 orang lebih tenaga kerja.
Usahanya pun berjalan dengan baik. Namun sayang kesuksesan itu hanya dinikmati beberapa tahun saja, dan   Ida Pandita Mpu mendapat godaan niskala yang membuat usahanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Di mana, meski hasil yang didapat dibilang lumayan besar, tetapi hasilnya tidak pernah dinikmati dengan baik, melainkan habis tanpa karuan peruntukannya.
“Waktu itu, meski hasil yang tiang dapatkan lumayan banyak, tetapi tiang tidak pernah bisa menikmati dengan baik, sepertinya hasil yang tiang peroleh sama sekali tidak mesari atau habis tidak karuan,” ujar Ida Pandita Mpu dengan tatapan menerawang jauh mengenang masa lalunya itu. Lebih lanjut, selain tidak bisa menikmati hasil kerja dengan baik juga tak merasakan ketenangan dalam diri. Sampai akhirnya, suatu ketika usahanya tidak jalan. Saat itu ada saja masalah yang muncul tanpa sebab yang pasti dan sulit diterima akal sehat (logika-red).
Akhirnya pada tahun 2000, Ida Pandita Mpu menanyakan ke beras jinah. Lagi-lagi harus untuk mengatasinya Ida Pandita Mpu harus bersedia ngiring ngayah di Pura Agung Pasek Sumertha. Tak ada pilihan lain, dan takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Ida Pandita Mpu pun menyanggupi. Sejak saat itu pula, Ida Pandita Mpu merasakan perubahan yang sangat signifikan dalam segala bidang, utamanya dalam hal ketenangan dan keharmonisan dalam keluarganya. Walaupun ada masalah tetapi selalu bisa diatasi dengan baik.  

Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid ini.  Terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More