Selasa, 26 April 2011

Mengenal Masyarakat Tengger (12), "Sesanti Acuan Pembentukan Sikap"


Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan keagamaan dan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Seperti telah dijelaskan pada uraian tentang agama dan kepercayaan, isi ajaran yang dianut sangat dekat dengan agama Hindu bercampur Budha dan adat istiadat setempat.


Keterangan : kelima warna tersebut di atas tidak dapat dipisahkan dengan kiblat. Falsafah hidup mereka beranggapan bahwa timur adalah terbitnya matahari, yang melambangkan permulaan hidup (wetan: ”wiwitan itu permulaan”); dengan warna putih yang berarti kesucian, kebersihan, ataupun belum ada tulisannya. Selatan atau kidul melambangkan ibu sebagai sarana kelahiran manusia dengan warna merah sebagai lambang darah atau keturunan (kidul diartikan pula didudul dan ”didorong”). Barat atau kulon diartikan kelonan (berpelukan, tidur bersama) antara ibu dan bapak; jadi barat diartikán ‘bapak’. Utara atau lor diartikan dengan lahir. Sedangkan tengah dianggap manca-warna atau bentuk yang terjadi.

3 Kata-kata Mutiara (sesanti)
Ada beberapa kata sesanti sebagai acuan pembentukan sikap, dan biasanya sangat berpengaruh terhadap ciri kepribadian manusia. Antara lain adalah seperti tersebut di bawah ini:
i. Dalam adat ada japa mantra dalam agama ada puja mantra.
ii. Tat twam asi artinya aku adalah engkau dan engkau adalah aku;
iii. Kalau masih mentah sama adil, kaiau sudah masaic tidak ada harga;
iv. Titi luri artinya meneruskan adat istiadat nenek moyang;
v. Mikul dhuwur mendhem jero artinya menghormati orang tua;
vi. Yen wis ana pasar ilang kumandharige, yen wis ana kedhung ilang banyune, yen wis donya iki diarani sagodhong kelor iku wis katene ana rejane jaman, artinya apabila pasar sudah kehilangan gemanya, apabila kedhung kehilangan airnya, apabila
dunia tinggal selebar daun kelor, itu pertanda kesejahteraan sudah mendatang.
vii. Genten kuwat artinya saling membantu.

4. Konsep tentang Manusia
1) Sifat Umum
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak berbatu. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul linggis, dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, bawang prei, padi gogo dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya.
Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan keagamaan dan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Seperti telah dijelaskan pada uraian tentang agama dan kepercayaan, isi ajaran yang dianut sangat dekat dengan agama Hindu bercampur Budha dan adat istiadat setempat.
Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara keagamaan. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.

Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh lurah dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.

Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan sama. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More