Selasa, 26 April 2011

Polah-Palih Membangun Sanggah, "Manut Sastra, sing Dadi Ngawag"

Krama Bali yang menganut ajaran Hindu, rasanya belum lengkap tanpa ada bangunan sanggah. Begitulah keyakinan krama Bali sampai sekarang. Dan membangun sanggah tidak boleh sembarangan dalam arti harus mengikuti polah-palih sastra yang ada dan disesuaikan dengan kondisi keluarga dan zamannya.


Sebelum mengulas sanggah menurut polah-palihnya, sebaiknya dikemukakan bagaimana keberadaan sanggah bagi umat Hindu. Pasalnya, sanggah ada yang mengklaim sebagai budaya, di samping ada pendapat sebagai produk agama. "Mana yang benar?" tanya seorang umat etnis Jawa Sutiono ketika TBA bertandang ke Pesanggaran, Banyuwangi, Jatim. Singkatnya, Sutiono ingin tahu betul apa yang ada di Bali. Apakah sanggah berdasarkan sastra agama atau hanya produk budaya semata. Dalam berbagai pandangan pernah ada tulisan yang mengulas sanggah memang sedikit rumit. Artinya dibilang budaya memang, ya, dikatakan agama juga, ya. "Kok bisa begitu," tanya Sutiono lagi dengan nada serius penuh keingintahuannya.
Sanggah boleh dikatakan budaya, terbukti sanggah hanya dibuat oleh umat yang ada di Bali dan atau umat Hindu etnis Bali di manapun ia berada kalau ia mau membuat sanggah. Dikatakan produk agama juga ia. Artinya, tidak ada umat non-Hindu yang membuat sanggah untuk pemujaan, kecuali untuk hiasan semata. Buktinya lagi, bagi mantan Hindu etnis Bali yang paid bangkung atau paid kaung ke agama lain tidak takut nguwug sanggahnya dan tak takut menghancurkan sanggahnya. Itu yang sudah terbukti di Bali khususnya. Banyak sameton Bali yang sudah merasakan nikmatnya ganti baju sudah tidak butuh lagi sanggah walaupun mereka krama Bali.
Apa ada alasan lain lagi? Cuma itu jawaban yang paling pas. Bagimana umat Hindu etnis yang lainnya? Sah-sah saja membuat sanggah sepanjang diyakini akan memberikan rasa percaya diri terhadap suatu ajaran. Agama Hindu adalah luwes tak pernah memaksakan umatnya untuk membuat ini dan membuat itu. Semua itu adalah hati nurani. Hanya saja apa yang dilakukan umat Hindu etnis Bali mengacu kepada sastra, artinya polah-palihnya anut ken sastra sing dadi ngawag. Ada lontar-lontar yang memberikan landasan di samping ada Itihasa Mahabratha dan Ramayana memberikan jalan. Karena dalam sastra tersebut manusia yang percaya Hindu menganut kepercayaan kepada leluhurnya atau witnya, yang melahirkan manusia dari kandungan bundanya sampai bisa menjadi dewasa nawang kangin kauh dan menjadi  presiden sekalipun.
Lebih diyakini lagi, krama Bali (baca Hindu) yang lempas teken wit, akan tidak bisa hidup tentram, ada saja penjahat sekala-niskala yang mengganggu hidupnya di dunia ini. Itu dulu tentang sanggah apakah pruduk agama atau budaya. Sulit memang dikaji secara mutlak, namun  masuk akal. Boleh dikatakan mirip atau serupa tapi tidak sama. Itulah persoalan yang menyangkut keyakinan atau kepercayaan manusia untuk mencari jati dirinya.
Sekarang muncul pertanyaan, bagaimana membangun sanggah manut ken sastra? Banyak sumber yang memberikan acuan untuk membangun sanggah kamulan. Pertama harus memilih lokasi. Karena krama Bali yakin setiap tempat suci harus dicarikan tempat tertentu. Panghulun karang namanya, Sesuai dengan konsep tri angga, seyogianya sanggah ada di utama angga. Krama Bali dan umat Hindu percaya arah kaja atau kaja kangin sebagai tempat yang layak untuk tempat suci. Jangan salah arti kaja dengan utara. Kaja mempunyai kerelatifan sesuai dengan arah gunung. Krama Buleleng selatan disebut kaja, sebaliknya di Bali Selatan, utara adalah kaja. Ada memakai pedoman gunung sebagai arah utama angga.
Sementara untuk ukuran luasnya kini semakin sulit diterapkan sesuai dengan sastra astakosali. Di mana banyak umat yang memiliki lahan tidak sesuai dengan keinginan untuk membangun sanggah. Misalnya di kota, tanah sulit dicari, namun ada mengupayakan membuat sanggah bertingkat bagi orang yang mampu. Dalam sastra dikenal sikut satak, sikut domas, yang tentunya sangat sulit diterapkan sesuai perkembangan zaman.
Namun dalam berbagai sumber ada upaya mudah, bisa diperkecil sampai 3 atau 5. yaitu 14 depa lawan 13 depa dengan penghurip 1 hasta musti. Sedangkan jarak sanggah dengan bale meten (bale badaja) menggunakan tampak kaki. tiga sampai empat tampak kaki ditambah dengan satu tampak ngandang.  Sementara untuk pamedalan atau pintu gerbang boleh memilih menghadap ke barat dan boleh menghadap ke selatan. ***  STA

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More