Selasa, 26 April 2011

Mengenal Masyarakat Tengger (9), "Dukun Berperan Strategis"


Secara resmi sejak tahun 1973 masuklah agama Hindu Dharma di wilayah Tengger, dan salam agama Hindu Om Swastyastu.

Dewasa ini telah diajarkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seperti tersebut berikut ini, yaitu : Panca Sradha.
1) Percaya kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan pencipta alam.
2) Percaya adanya Atma (n) yaitu roh leluhur atau rohnya sendiri.
3) Percaya adanya karmapala, yaitu hukum sebab-akibat. Kepercayaan pada karma pala ini merupakan inti ajaran agama Hindu maupun agama Budha, semua perbuatan manusia itu pasti terikat pada hukum sebab-akibat. Setiap perbuatan pasti ada akibatnya, yang akan dialami oleh manusia baik sekarang maupun pada hidup yang akan datang.

4) Percaya pada punarbawa (reinkarnasi). Kepercayaan ini adalah dan agama Hindu dan Budha, bahwa manusia itu terikat pada hukum hidup berkali-kali sesuai dengandharma hidup sebelumnya.
5) Percaya pada moksa (sirna), yaitu apabila manusia telah mencapai moksa tidak akan terikat kembali pada punarbawa. Mereka akan berada pada tempat kedamaian abadi.
Dukun merupakan pimpinan masyarakat yang berperan memimpin upacara keagamaan. Kedudukan dukun lebih tinggi daripada modin dalam agama Islam, namun lebih rendah dari sulinggih dalam masyarakat Bali. Di Tengger dahulu ada 36 orang dukun. Satu di antaranya menjadi kepala dukun pandita yang memberi arahan serta petunjuk atau nasihat bagi para dukun lainnya.
Dukun dipilih melalui musyawarah desa, diseleksi melalui ujian, serta diangkat oleh pemerintah. Dukun berfungsi memimpin upacara keagamaan dan dibantu oleh legen. Pada waktu memimpin upacara keagamaan, dukun mengenakan baju antrakusuma atau rasukan dukun dengan ikat kepala dan selempang, serta dilengkapi dengan alat-alat upacara seperti : prasen, genta, dan talam.
Syarat menjadi dukun antara lain adalah : (1) berkemampuan, tekun, mampu menggali legenda, memiliki kedalaman ilmu, dan bertempat tinggal dekat dengan lokasi; (2) disetujui oleh masyarakat melalui musyawarah; dan (3) diangkat oleh pemerintah.
Untuk memperkuat karisma dan wibawa, seorang dukun diwajibkan menjalankan laku tertentu. Pada setiap bulan ketujuh dukun diharuskan melakukan mutih, yaitu selama satu bulan tidak makan garam, gula, dan tidak kumpul dengan istri. Kerja sehari-hari tetap dilaksanakan, hanya dibatasi waktunya supaya tidak terlalu lelah. Laku mutih ini diibaratkan sebagai pengasah kemampuan batiniah yang bersifat spiritual. Diibaratkan seperti pisau, untuk menjadi tajam harus diasah. Laku mutih ini bukan untuk setiap orang, dalam arti bahwa orang-orang yang bukan dukun tidak harus melakukannya.
Untuk dapat menjadi dukun diharuskan menguasai adat dan mantra-mantra yang dibaca atau diucapkan pada berbagai upacara adat. Pada umumnya dipandang seseorang bisa menjadi dukun setelah mencapai umur 40 tahun dan menguasai adat serta berbagai mantranya. Mantra-mantra tersebut dulu diwariskan secara lisan, akan tetapi sekarang di samping lisan diusahakan melalui tulisan. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More