Selasa, 26 April 2011

Menguak Kisah Ngiring Jro Tapakan Sari Mekalihan (1), "Awalnya Maburuh, Katitih Jadi Permas 118 Sasuhunan"


Jro Tapakan Sari ngiringan 118 Sasuhunan namun pokoknya ada lima. Di mana selain ngelarang pangusadan juga membantu krama setiap saat (tanpa pantangan hari). Di sini dilarang nunas brerong, panglantih, dan pangeger. Yang ada hanya untuk kebaikan salah satu contohnya untuk rujukan keluarga. Bagaimana kisahnya ?


Rep dan Foto : Budikrista

Menjadi seorang Jro Tapakan alias kaki tangan Hyang Kuasa untuk menjalankan kebenaran dan membantu sesama adalah suatu hal yang sangat-sangat mulia namun juga sangat riskan sekali. rwa bhineda, jele melah di gumine pasti akan terus ada. Maka tidak heran jika kerap seorang jro tapakan mengalami guncangan, goadaan dan bisa dibilang ada sebuah ‘perlawanan’ dari orang lain yang juga menjalankan ilmu-ilmu gaib. Mungkin, ‘mereka’ yang kerap mencoba (ngetes) seorang jro tapakan yang nulus ngayah merasa tersaingi dalam sebuah tujuan tertentu.
Nah kejadian seperti inilah yang dialami oleh Jro Tapakan Sari atau Jro Tapakan Pucak Sari Mekalihan (suami istri memiliki peran yang sama dalam membantu sesama menjadi mediasi Ida Sasuhunan yang disungsungnya). Jro Tapakan Sari Mekalihan ini tinggal di Banjar Sidembunut, Desa Pakraman Sidembunut, Kelurahan Cempaga, Bangli. Mengenai usia, bisa dikatakan jauh dari kondisi fisik keduanya di mana usia yang sudah 70 tahun (keduanya) masih enerjik dan kelihatan baru 60 tahunan. Mungkin, ini disebabkan sering bertemu dengan banyak orang, yang berbeda-beda dengan tujuan dan sifat yang berbeda pula yang mendatanginya untuk nunas tamba.
Sebelum lanjut, perlu kiranya kami beritahukan lokasi di mana keduanya tinggal. Mereka tinggal bersama anak dan cucunya di Banjar Sidembunut. Untuk mencapai lokasi ini, tidak jauh dari Kota Bangli. Jika mengetahui Pura Kehen Bangli, lokasi pasraman Pucak Sari (rumah Tapakan) berada sekitar 300 meter ke timur dari Pura Kehen Bangli. Namun itu dengan menggunakan jalan kecil yang cukup baik. Alangkah baiknya lagi melalui jalan besar yang tembus ke Karangasem (jalur ke Besakih biasanya). Sekitar 500 meter dari traffic light ke timur ada pertigaan dan krama bisa mengambil jalur ke kiri dan bisa tanyakan kepada warga setempat, karena keberadaan Tapakan Mekalihan ini sudah sangat dikenal krama setempat.
Saat Wartawan TBA ke Pasraman Pucak Sari ini, kebetulan disambut oleh kedua tapakan. Di mana, keduanya memang tidak pernah keluar, karena menurutnya jika ada krama yang datang kasihan menunggu lama.
Yang paling banyak memberikan penjelasan mengenai kegiatan usada yang digelar oleh keduanya (tentunya hanya sebagai mediasi dari Sasuhunan_red) adalah Jro Tapakan Sari Istri. Sementara yang laki hanya memberikan tambahan dan juga memberikan keyakinan dengan fakta-fakta yang sebelumnya sempat terjadi kepada keduanya.
Awalnya Tapakan Istri ngotot tidak mau memberikan sedikit keterangan kepada orang yang datang, apalagi konsumsi media dan nanti dibaca orang banyak. Dengan penuh keyakinan dan berbagai upaya penjelasan akhirnya dia mau membuka lembaran ceritanya. Memang, sebagaimana diketahui napakin memang sangat rentan dan harus mendapat ijin secara niskala. Namun setelah diam beberapa saat diapun bercerita.
Diceritakan, sebelum ngiring mengaku tidak memiliki apa-apa. Jangankan rumah, untuk makan saja sulit. Selain itu I Guru (begitu panggilan tapakan lanang). Bekerja sebagai buruh bangunan di berbagai tempat, bahkan sampai ke Denpasar sebelum tahun 1994 dan selanjutnya kerja menjadi tukang sapu di SMK 1 Bangli. Kemudian yang istri mulai mengalami sakit-sakitan. Dan kemudian singkatnya ditanyakanlah kepada seorang jro tapakan. “Dari beras jinah, tersebut titiang kanikaang ngiring dados pamongpong dados tapakan Ida Bhatara sareng kalih, nyelamerang panjak Ida Bhatara sane Kabiahparan ” kata Jro Tapakan Sari istri. Nah kemudian, hal ini dibicarakanlah dengan keluarnyanya. Dia mengaku takut, karena merasa sebagai seorang yang bodoh. Jangankan jadi tapakan mengobati orang, untuk makan saja sulit, sebutnya.
Nah setelah dipikirkan menunggu tiga tahun sampai tahun 2007, akhirnya menjalankan titah tersebut. Dari titah Ida Bhatara di Pura Pucak Cemeng, Bukit Bangli akhirnya menjadi tapakan. “Yang malinggih di sini ada 118 bhatara, namun pokoknya ada lima yakni, Ida Bhatara Sakti Pucak Cemeng, Bhatara Bayu, Bhatara Biksu, Bhatari Durga. Namun jika semuanya disebutkan bisa menghabiskan waktu lama, katanya karena Ida Bhatara Sakti Dalem Peed dan Bhatara Sakti di Pura Candi Narmada juga mapalinggihan driki,” paparnya lugas.
Namun awal-awal ngiring masih belum mawinten, juga tidak ada tempat hanya satu pondokan saja untuk tidur dan tempat suci Ida Bhatara Sasuhunan sami. Pun demikian ada yang datang tangkil.


Untuk informasi selengkapnya, silahkan memesan tabloid ini.  Terima kasih.

1 komentar:

kisah nya sangat bagus Gan,
saya suka membaca yang seperti ini, terimakasih...
:-)

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More