Senin, 25 April 2011

Di Balik Keberanian Keluarga Ketut Pasma Hadapi Adat

25 Desember 2010 merupakan rentang waktu suci di mana untuk di Desa Metra, Tembuku Bangli tidak diperkenankan melaksanakan pangabenan. Namun dengan melaksanakan upacara Agnihotra dikatakan tidak menyalahi adat dan itupun dilaksanakan. Dan bagaimanakah kisah sebenarnya ikuti penelusuran TBA berikut ini.

Reporter & Foto : Budikrista




Beberapa waktu lalu (tepatnya 30 Desember 2010) sudah dilaksanakan upacara pembakaran layon (mayat) ayah dari I Ketut Pasma dari Tempek Sidaparna, Desa Metra, Kecamatan Tembuku, Bangli. Ini bukanlah hal yang bisa dikatakan lumrah dan ada setiap saat. Hingga akhirnya Wartawan TABLOID BALI AGA (TBA) berusaha mencari rumah Pak Ketut Pasma ini.
Untuk menjangkau lokasi kawasan Sidaparna ini bisa dibilang cukup sulit dan berlika-liku dan tentu pula membutuhkan waktu yang cukup lama. Berkat bantuan beberapa penduduk di Desa Metra sendiri akhirnya desa inipun ditemukan. Beruntung, kala itu cuaca sangat mendukung sehingga tidak harus takut tersesat apalagi masuk ke dusun-dusun dengan jalan naik turun yang terjal. Lokasi Sidaparna ini mungkin lebih dekat ke Karangasem atau ke Kintamani dibandingkan dengan ke Bangli.
Sesampainya di rumah Ketut Pasma, tampak sejumlah krama ada di rumahnya sibuk menyelesaikan banten yang menurut Ketut Pasma sendiri sebagai runtutan upacara ayahnya yang meninggal kala Hari Raya Natal lalu.
Ketut Pasma menceritakan kalau memang sebenarnya secara aturan adat (awig-awig) Desa Adat Metra, pada rentang waktu dari Nyaluk Wuku Galungan sampai Pegat Uwakan merupakan hari suci dan tidak diperkenankan melaksanakan segala jenis kegiatan upacara pengabenan. Nah di sini, bapaknya meninggal pada 25 Desember 2010 dan itu merupakan rentang waktu yang dimaksud tadi dan sudah pasti tidak bisa dilaksanakan upacara pangabenan.
Mengingat keluarga Ketut Pasma sendiri yakni dua saudara laki-lakinya ada di Sulawesi dan Kalimantan maka menjadi kebingungan untuk mengurusnya, artinya rencana pengabenan yang diinginkan tidak bisa terlaksana. Hingga akhirnya keluarganya pun mendatangi Bendesa Adat Metra untuk mendapat kejelasannya. Dari Bendesa sendiri memang ditegaskan demikian, pada waktu tersebut dilarang untuk melaksanakan pengabenan namun hanya boleh melaksanakan pengesengan (pembakaran) mayat atau menguburkan saja dan nanti ketika ada pengabenan masal baru diikutkan di sana. Dengan kejelasan seperti itu maka rencana pengabenan pun tertunda.
Sebagai umat Hindu yang maju dan modern akhirnya ada solusi yakni pada saat pengesengan yang dilaksanakan pada 30 Desembernya juga diikuti dengan upacara Agnihotra di Setra Metra yang dipuput oleh dua Sulinggih yakni Ida Bhagawan Agni Yogananda, dan Ida Sri Mpu Meitrya Maireng dari Griya Metra. Pada akhirnya berkat restu dari Bendesa Pakraman dan mengijinkan melaksanakan upacara agnihotra ini, maka upacara pun berjalan dengan baik. Bahkan, kata Pasma sendiri untuk di Kecamatan Tembuku sendiri baru kali ini ada upacara Pitra Yadnya dibarengi dengan upacara agnihotra.
Kenapa hal ini ngotot dilaksanakan? Ketut Pasma sendiri mengakui, ini bukanlah hal yang kaku dan harus dilaksanakan oleh keluarganya. Karena juga kakak dan adiknya adalah orang perantauan supaya bisa memberikan penghormatan terakhir kepada orang tuanya secara tulus ikhlas untuk mendoakan agar bisa diterima dan bersatu dengan-Nya sesuai dengan amal bakti almarhum semasa hidupnya.
“Upacara agnihotra sudah sesuai dengan ajaran Veda sebagai kitab suci umat Hindu, dalam hal ini Reg Weda,” ujarnya. Di mana dalam Reg Veda ada disebutkan mengenai Homayadnya.  Homa Yadnya merupakan pemujaan pada Tuhan melalui Sang Hyang Agni. Karena itu memuja Tuhan dalam tradisi Hindu selalu diawali dengan dupa dan dipa. Dupa lambang bhakti manusia pada Tuhan sedangkan dipa lambang sinar suci Tuhan menerangi jiwa manusia. Dengan jiwa terang itulah Weda akan lebih mudah dapat dicapai untuk mengendalikan seluruh sistem pada diri manusia. “Homa Yadnya adalah rajanya yadnya,” ujarnya.
Dalam upacara ini keluaga Pasma menggabungkan antara filsafat dan ritual. Di mana filsafatnya adalah agnihotra sedangkan ritualnya adalah tradisi umat Hindu yang ada di Bali yakni dengan menggunakan banten. “Keduanya mesti seimbang, dan ini juga untuk keseimbangan jagat raya,” ucapnya. Ketika orang meninggal sang Atma akan pergi meninggalkan badan kasarnya.
Ia mengatakan,  Agni Hotra merupakan sebuah upacara suci pengembalian sang Atma kepada Brahman. Sama halnya dengan upacara pengabenan juga mengembalikan dan menyucikan Atma agar bisa bersatu dengannya. Apakah dengan Agni Hotra ayah Anda sudah diabenkan? Kalau diabenkan secara ritual memang belum, namun secara filsafat sudah. Sebagaimana dikatakan tadi dalam pembakaran mayat juga dilaksanakan agnihotra oleh keluarga dan Sulinggih itu berarti juga menyucikan sang Atma.

Kegaiban sebelum Meninggal
Dari Kerug Kerebek hingga Kata Wasiat

Ketut Pasma menceritakan, sebelum kematian ayahnya, 14 hari sebelum meninggalnya didatangi oleh seseorang yang bernama Pak Nyoman Putra asal Buleleng yang tinggal di Denpasar. Pak Nyoman ini mendoakan ayahnya dengan doa-doa Gayatri beberapa kali secara khusuk. Pada saat ayahnya menjalani perawatan di RSUD Bangli.
Setelah lantunan doa-doa tersebut kemudian terdengar suara kerug kerebek (Guntur) menggelegar sebanyak tiga kali tepat di atas rumah sakit umum Bangli. Entah pertanda apa itu, Pasma mengaku sempat menggeleng-gelengkan kepala. Setelah berdoa Gayatri, kemudian orang inipun mesesontengan dan mengatakan dalam doanya ‘Jika Tuhan masih memberikan kesempatan kepada orang ini untuk hidup maka sembuhkanlah dia dan jika memang sudah waktunya untuk meninggalkan badan kasarnya maka berikanlah dia kemudahan untuk pergi dengan tenang’.
Setelah itu, keesokan harinya dokter mengatakan pasien sudah bisa diajak pulang. Ini berarti orang tuanya sudah mengalami pulih total. Akhirnya dirawat di rumah. Kemudian di rumah di doakan kembali oleh empat sulinggih yang diajak oleh Ida Bhagawan Agni. Melaksanakan Agni Hotra di rumah Pasma. Untuk mendoakan kesehatan dan kesembuhan ayahnya.
Kemudian keesokan harinya Ketut Pasma diajak bicara oleh orang tuanya sebagai kata wasiat begini katanya : “Jani Guru suba sing sakit, Guru suba tenang amonto liun Sulinggih dini mendoakan apang Guru seger, Guru suba terang, tenang jani,” katanya. Kemudian keesokan harinya kembali berkata, namun kali ini kepada keponakannya. “Buin puan Guru lakar ngalain, ba makejang tenang jani,” katanya. Dan memang benar kematian pun menjemputnya pas pada hari raya Natal sore harinya.
Selain itu almarhum juga berpesan upacara nantinya jika saat meninggal agar dilaksanakan secara adat dan rohani juga dijalankan. Hal ini sudah tepat di mana secara filsafat dan ritual dijalankan dengan agnihotra dan upacara Pitra Yadnya.
Ketika ditanya mengenai aktivitas Agnihotranya, dia mengaku tidak pernah mengikuti kegiatan aliran tertentu. “Saya sejak usai 9 tahun sudah merantau ke Sulawesi dan tahun 2000 saya balik ke Bali untuk mengurus orang tua,” tuturnya menambahkan.
Dia mengaku kalau sebenarnya awalnya tidak tertarik dengan agama. Namun setelah tahun 1993 mulai berfikir ketika sempat membaca buku Hindu. Di mana di sana dikatakan untuk apa mau apa dan kenapa dilahirkan ke dunia. “Kalau tidak untuk berbuat baik apalagi,” ujarnya.

Ida Bhagawan Agni Yogananda
Sederhana tanpa Tanggalkan Ritual

Sebagai pamuput upacara dan upakara pembakaran mayat ayah dari Pasma ini, Ida Bhagawan Agni Yogananda dari Griya/Ashram Tribrata Santi, Desa Payuk, Peninjoan, Tembuku, Bangli mengatakan, walaupun aturan adat berkata demikian namun agnihotra itupun saja sudah menyucikan Atma.
AJARAN suci seyogianya dijadikan dasar untuk mengembangkan upaya memperbaiki prilaku dan membenahi kebiasaan hidup yang kurang baik menjadi semakin baik,  semakin sesuai dengan konsep ajaran suci. Sarasamuscaya 177 menjelaskan,: Phalaning Sang Hyang Weda inaji kawruhaning ayuning sila muang acara: Pahala mempelajari Veda agar memiliki pengetahuan dan pemahaman akan cara memperbaiki prilaku dan kebiasaan hidup baik yang menyangkut kebiasaan hidup individual maupun kebiasaan hidup bersama dalam masyarakat. Hendaknya janganlah ajaran kitab suci hanya dibangga-banggakan semata, tetapi dalam prilaku di balik dijadikan dasar untuk membenci pihak yang dianggap orang lain.
Adat seyogianya media untuk melakukan proses perbaikan tingkah laku dengan cara-cara yang persuasif dan edukatif. Adat bukan untuk melakukan balas dendam dan meminggirkan mereka yang tidak ada kekuasaan dan tidak punya pengaruh. Masih ada adat dijadikan media untuk menghukum pihak yang dianggap bersalah dengan cara-cara yang tidak adil. Padahal hukuman itu bertujuan untuk menegakkan keadilan.
Seperti orang melakukan ritual sakral ”Agni Hotra” atau Homa Yadnya”. Ritual tersebut adalah ritual sakral berdasarkan ajaran suci Veda yang disebut sebagai ”Spatika Yadnya”. Yang artinya permatanya yadnya. Upacara yadnya Agni Hotra tersebut sangat ditekankan oleh kitab suci Veda, seperti Rg Veda X.66.8. Demikian juga dalam mantra Atharwa Weda XXVVIII.6 disebutkan, yadnya Agni Hotra tersebut dilakukan oleh mereka yang hatinya mulia. Agni Hotra dapat menimbulkan kedamaian hati, dapat menggugah hati para pemimpin, untuk bekerja dengan baik membina masyarakat dan tidak menyakiti hatinya serta memelihara binatang ternaknya dengan baik. (*)

2 komentar:

Kenapa tabloid baliaga skrg jarang beredar ?

Satyam evam jayate 👍🌻💕😍🙏
Agnihotra, homa yajnya ca bahu uttama yajna.agree vayam karisyaamaH.Sarvesam subham bhavantu.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More